Selasa, 27 November 2012

GEREJA KEHILANGAN KASIH MULA-MULA

Sekalipun benar ada lebih banyak orang Kristen lahir baru dibandingkan 10 tahun yang lalu, keadaan rohani di Amerika sangatlah stagnan. Riset baru mengenai kekristenan telah menyimpulkan bahwa orang Amerika tetap memandang diri mereka beragama dan beriman -- tetapi menunjukkan juga bahwa orang percaya menunjukkan keadaan rohani yang biasa - biasa saja. Vonis ini disampaikan oleh laporan "State of The Church" atau "Keadaan Gereja" oleh Barna Research Group (BRG), organisasi Kristen yang bermarkas di California setelah mengadakan riset tahunan mengenai kegiatan dan pola pikir agama di Amerika. Tidak semuanya buruk. Riset di 1005 gereja protestan dan katholik menunjukkan bahwa jumlah orang kristen lahir baru berusia dewasa naik dari 35 persen di tahun 1991 menjadi 41 persen di tahun 2001. Sejak 1995 ada 5 persen kenaikan dari jumlah orang dewasa yang berkata "berkomitmen total" kepada iman kristiani. Tetapi beberapa kemunduran terlihat di beberapa area kekristenan. Pembaca setia Alkitab turun dari 45 persen ke 37 persen dibandingkan 10 tahun yang lalu. Pengerja gereja yang tidak dibayar turun dari 27 persen menjadi 20 persen selama 10 tahun terakhir. Jumlah jemaat yang pergi ke gereja menurun dari 49 persen menjadi 42 persen pada kurun waktu yang sama. Yang mengkhawatirkan, 4 dari 10 umat kristen tidak pergi ke gereja atau membaca Alkitab sama sekali dalam seminggu. 7 dari 10 orang tidak juga hadir di kebaktian kecil seperti kelompok sel atau ibadah apapun untuk membangun iman mereka. Laporan juga menunjukkan setidaknya ada 10 juta umat kristen yang tidak bergabung dengan gereja apapun. Presiden BRG mengatakan bahwa Amerika membutuhkan sebuah kebangunan rohani. Menurut George Barna "41 persen dari orang yang beribadah di gereja tida lahir baru. Meskipun jumlahnya lebih tinggi dari gereja katholik, lebih 1/3 jemaat protestan tidak lahir baru." Dia juga menambahkan "sebagian besar dari jumlah ini sudah menjadi anggota gereja tanpa memahami iman kristen yang sesungguhnya". Berdasarkan data - data dari riset sebelumnya, Barna menyimpulkan bahwa "Amerika sudah pasti tidak mengalami kebangunan rohani yang diharapkan akan terjadi setelah milenium baru dimulai". Dia menambahkan, "Ada banyak pengecualian di berbagai daerah, tetapi secara garis besar, pelayanan Kristen terhenti. Seperti jemaat Laodikia dan Sardis di Alkitab yang tidak disukai Allah karena kematian rohani mereka, banyak gereja Kristen Amerika yang sudah menukar kasih yang mula - mula terhadap Allah dengan ritual dan metode - metode kosong. Tantangan masa kini bukan soal metode, tetapi bagaimana membangkitkan dan menularkan kasih yang mula - mula kepada umat kristen di negeri ini". Pandangan ini bertolak belakang dari pendiri Christian Broadcasting Network (CBN), Pat Robertson yang mengatakan pada Virginia Press Association minggu lalu bahwa kebangunan rohani sedang melanda Amerika. Dia berkata bahwa kebangunan rohani ini juga mempengaruhi politik karena para umat berdoa dan bekerja sama dengan banyak politisi untuk kebaikan negeri. Dan dukungan ini adalah "Trend baru yang sangat baik", katanya. "Aku menganggap sebagai suatu kehormatan, bila aku tidak memberitakan Injil di tempat di mana nama Kristus telah dikenal, supaya aku jangan membangun di atas patok orang lain" - Roma 15:20

MARAK GAME INTERNET

TAHUN 2000 - 2012 MARAK GAME ONLINE INTERNET MEMBUAT ANAK2 SEKOLAH MALAS BELAJAR Hasil riset Barna Group tahun 1998, menemukan bahwa satu dari enam remaja di Amerika menyatakan bahwa dalam lima tahun kedepan mereka berharap dapat menggunakan internet untuk menggantikan kegiatan religius yang saat ini dilakukan (Barna, 1998). Dalam riset berikutnya tahun 2001 yang berjudul “More Americans Are Seeking Net-Based Faith Experiences” Barna Group menemukan hasil riset yang menguatkan riset sebelumnya. Presently, 8% of adults and 12% of teenagers use the Internet for religious or spiritual experiences. This application rated eighth among the eight possibilities explored. Less than 1% of all adults and just 2% of teens currently use the Internet as a substitute for a physical-church.(Barna, 2001) George Barna yang memimpin riset tersebut menyatakan, “By the end of the decade we will have in excess of ten percent of our population who rely upon the Internet for their entire spiritual experience. Some of them will be individuals who have not had a connection with a faith community, but millions of others will be people who drop out of the physical church in favour of the cyber church”(Barna, 2001). Temuan yang sama juga didapat dalam riset Pew Internet & American Life Project tahun 2001, ditemukan bahwa 28 juta orang (25% dari jumlah pengguna internet) di Amerika, menggunakan internet untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan religius. Jumlah tersebut lebih besar dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar 19 sampai 20 juta orang saja (Larsen, 2001). Tahun 2004 Pew Internet & American Life Project menemukan jumlahnya telah mencapai 64% dari total 128 juta pengguna internet di Amerika (Hoover, Clark, dan Rainee, 2004). Beberapa riset diatas menunjukan adanya aktifitas religius yang dilakukan di internet, dengan jumlah orang yang teribat didalamnya terus bertambah. Andrew Careaga menilai bahwa riset tersebut menunjukan adanya pergeseran dari aktifitas religius yang sebelumnya dilakukan di gereja, merambah ke internet, hal ini didasari oleh perkembangan internet yang semakin terintegrasi dengan budaya kita dan kurang relevannya gereja "tradisional" ditengah era global dan consumerism saat ini (Careaga, 1999). Secara umum keterlibatan seseorang dalam aktifitas religius berdampak pada pertumbuhan religiusnya sehingga dapat dijadikan praduga awal bahwa aktifitas religius di internet akan berdampak terhadap pertumbuhan religiusitasnya, Hal-hal tersebut yang akan dicoba untuk diteliti lebih lanjut melalui penelitian ini.

PARAH...HASIL RISET PENGETAHUAN ORANG KRISTEN YANG SANGAT BURUK

Beberapa tahun yang lalu, George Barna, pendiri Barna Group, sebuah perusahaan riset yang fokus pada mempelajri kepercayaan agam dan kelakuan orang Amerika melakukan suatu survei orang-orang “Kristen” di Amerika.

Inilah yang dia temukan tentang pengetahuan mereka tentang Alkitab.
• 48% tidak dapat menyebut nama empat Injil.
• 52% tidak dapat mengidentifikasi lebih dari dua atau tiga murid Yesus.
• 60% bahkan tidak bisa menyebut lima dari sepuluh perintah
• Lebih dari 50% “Kristen yang telah lahir baru” mengira bahwa Sodom and Gomora dalah suami istri.
• 61% mengira bahwa Khotbah di Bukit dikhotbahkan oleh Billy Graham.
• 71% mengira bahwa kalimat “Allah membantu mereka yang membantu dirinya sendiri” adalah ayat di dalam Alkitab.

PUISI NATAL "NATAL BERMAKNA PENUH JANJI"

NATAL SATU KATA YANG SANGAT BERMAKNA
KELAHIRAN SANG RAJA BAGI DUNIA
MENGUBAH KEGELAPAN MENJADI TERANG
BAGI BANGSA YANG HIDUP DALAM KEGELAPAN

NATAL SATU KATA YANG MENGUNCANG DUNIA
MEMBUAT MANUSIA JADI BERHARGA
DISANA ADA KASIH ALLAH MELIMPAH
PENGORBANAN-NYA SUDAH MMEMBUKTIKANNYA

NATAL MENGUBAH TANTANAN KEHIDUPAN
KESELAMATAN JIWA DATANG DARI TEMPAT TINGGI
IA MENJADI TEMPAT PENGHARAPAN
BAGI BANGSA-BANGSA

DENGAN KEPAK SAYAP-NYA MENUDUNGI SETIAP INSAN
KESETIAAN-NYA MENJADI PERISAI DAN PAGAR TEMBOK
DAMAI SEJAHTERA DIBERIKAN
JANJI KEKELAN MENJADI WARISAN

NATAL PENUH JANJI
KEKUATAN KUASA-NYA MENGALIR MEMENUHI BUMI
ULAR TEDUNG KAU LANGKAHI, SINGA DAN ULAR KAU INJAK-INJAK
IA AKAN MEMBENTENGI MU DAN MELUPUTKAN MU

NATAL MENCERITAKAN KETETAPAN-MU
BANGSA-BANGSA AKAN KUBERIKAN KEPADA-MU
BANGSA-BANGSA AKAN MENJADI MILIK-MU
BANGSA-BANGSA AKAN MENJADI KEPUNYAAN-MU

NATAL MENJADI SATU JAWABAN
RAJA MULIA -RAJA YANG PERKASA
ANGKATLAH WAJAHMU ...TATAPLAH DIA
DIALAH KEMULIAAN BAGI BANGSA "TUHAN YESUS KRISTUS"

NATAL MENJADI SATU KEBAHAGIAAN
BAGI SETIAP YANG MAU MENERIMA DAN MEMPERCAYAI-NYA
DIA SEBAGAI TUHAN DAN JURUSLAMAT PRIBADI
NATAL BERMAKNA PENUH JANJI

JESUS LOVE U ALL

HIDUP YANG BERINTREGRITAS

GALATIA 2 :11-14 Tembok Besar Cina, the Great wall, merupakan bangunan terpanjang yang pernah dibuat oleh manusia. Untuk membuat tembok raksasa ini, diperlukan waktu ratusan tahun. Tembok itu panjangnya 10.000 li atau 6.400 kilometer, tingginya 8 m dan lebar bagian bawahnya 8 m, sedangkan lebar bagian atasnya 5 m. Tembok ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah serbuan bangsa Mongol dari utara pada masa itu. Itulah sebabnya, setiap 180-270 m dibuat semacam menara pengintai. Bagi orang-orang yang hidup pada waktu itu, tembok ini terlalu tinggi untuk dapat dipanjat, terlalu tebal untuk didobrak, dan terlalu panjang untuk dikelilingi. Itulah yang membuat orang-orang yang tinggal di sebelah dalamnya merasa sangat aman. Namun, sepanjang sejarah, beberapa ratus tahun setelah tembok itu berdiri, orang-orang di sana telah diserang tiga kali. Ribuan musuh masuk tanpa merobohkan dan memanjat tembok. Bagaimana caranya? Mereka masuk melalui pintu utama dengan cara menyuap penjaga pintu gerbang dengan sejumlah uang dan wanita. Karena hal itu, orang sering mengatakan, “The Chinese were so busy relying upon the walls of stone that they forgot to teach integrity to their next generations.” Artinya, “Orang-orang Tionghoa pada masa itu terlalu bersandar pada kekuatan tembok yang terbuat dari batu tersebut, sehingga mereka lupa untuk mengajarkan tentang integritas kepada generasi muda mereka.” Tanpa integritas para penjaga, kekuatan tembok besar yang luar biasa dalam melindungi dan menyelamatkan jiwa-jiwa manusia tidak berarti apa-apa. Menurut George Barna, pendiri dan ketua dari Barna Reseacrh Group, di California, yang mengkhususkan diri untuk melakukan riset-riset Kristen, selama 15 tahun terakhir ini, gereja-gereja di Amerika telah menghabiskan dana $500 milyard. Itu berarti rata-rata per tahun gereja-gereja di Amerika telah menghabiskan dana sebesar Rp.310 triliun untuk membiayai aktivitas-aktivitas yang diadakan oleh gereja. Yang mengejutkan adalah selama 15 tahun terakhir itu persentase peningkatan jiwa-jiwa baru yang percaya pada Yesus adalah nihil. Apa sebabnya? George Barna menyimpulkan bahwa integritas para pemimpin Kristen merupakan salah satu penyebabnya. Para pemimpin yang tidak memiliki integritas telah menyebarkan kemunafikan yang meluas di dalam gereja-gereja sehingga gereja tidak ada bedanya dengan pentas teater di mana para pemainnya sibuk berganti-ganti topeng. Sungguh dahsyat dampak dari kemunafikan. Ketika menyadari hal ini hati kita menjadi takut karena kita sadar bahwa kita pun adalah orang-orang munafik yang hidup dari topeng ke topeng. Kita selalu ingin dilihat orang sebagai orang baik, tetapi kita tahu kita tidak demikian. Kita mengecam orang yang melakukan dosa, tetapi diam-diam kita sendiri hidup dalam dosa yang sama. Kita membenci orang yang suka berdusta, tetapi hidup kita sendiri bertahun-tahun dibangun atas kebohongan. Kita sering menggelenggelengkan kepala ketika kita mendengar kabar tentang seseorang yang enggan pergi memberitakan Injil, tetapi sebenarnya kita pun sudah lama merasa terpaksa menjalankannya. Oh, hanya Tuhan yang tahu betapa kotornya diri kita masingmasing. Kita bukanlah orang-orang Kristen yang berintegritas. Kita bukanlah orang yang jujur di mata Allah dan manusia. Bahkan kita juga tidak jujur kepada diri kita sendiri. Bila pemberitaan Injil sangat ditentukan oleh integritas kita, maka siapakah dari kita yang berani optimis bahwa pekerjaan yang Tuhan percayakan kepada kita itu akan dapat kita kerjakan dengan sukses? Saudara, saya kira pergumulan-pergumulan yang kita alami, juga dialami oleh Petrus. Dia sadar bahwa dia bukanlah orang yang berintegritas. Dia ingat saat malam Yesus hendak disalibkan, Yesus berkata kepada Petrus bahwa ia akan menyangkal-Nya tiga kali. Kata Petrus, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau” (Mat.26:35). Beberapa jam kemudian, ia melakukan persis seperti yang dikatakan Yesus. Petrus mendapati bahwa ia bukan orang yang memiliki integritas seperti yang ia kira selama ini. Kenyataan ini pasti sangat menyakitkan hati Petrus. Petrus tentu bertanya-tanya mengapa seorang manusia sepertinya bisa ditunjuk untuk menjadi pemimpin gereja Tuhan? Bahkan setelah ia diampuni oleh Tuhan Yesus dan dipercayakan lagi untuk menjadi pemimpin gereja untuk menggembalakan domba-domba Tuhan, ia sekali lagi jatuh pada tindakan kemunafikan. Teguran keras Paulus di muka umum tentu membuat mukanya merah. Ia mungkin marah dan berkata dalam hatinya, “Hai Paulus, jangan sombong! Siapa sih kamu itu? Sebelum kamu menjadi hamba Tuhan, aku sudah menjadi pendeta besar. Sadar Paulus, kamu itu masih mahasiswa praktik satu tahun. Masa depan kamu tergantung rekomendasi aku, ngerti!!!” Atau ia bisa saja membawa Paulus menyingkir berdua dan berkata, “Paulus, kalau aku memang salah, tegur aku secara pribadi, tapi jangan di depan orang banyak seperti itu. Bukankah Tuhan Yesus mengajar kita untuk menegur orang pertama-tama empat mata dulu? Jadi, apa maksud kamu? Ha!” Tetapi, saudara-saudara, Alkitab diam seribu bahasa dalam melukiskan reaksi Petrus terhadap teguran keras Paulus. Saya menduga yang terjadi mungkin sebaliknya. Teguran keras Paulus mengingatkannya kembali akan suara ayam berkokok yang meruntuhkan kebanggaan dirinya. Ia kembali sadar bahwa dirinya sangat tidak memenuhi kualifikasi untuk menjadi seorang pemimpin Kristen yang dapat diteladani. Perasaan tidak layak mungkin saja menguasai dirinya dan dalam keadaan seperti itu bisa saja dia bertanya kepada Tuhan, “Mengapa aku Tuhan, mengapa aku yang Kau pilih untuk menjadi pemimpin gereja-Mu? Aku bukanlah orang yang berintegritas. Aku tetap sama, Petrus yang dulu! Ah, bagaimana mungkin aku bisa menjadi hamba yang berintegritas?” Aplikasi Saudara, itulah persoalan Petrus dan bukankah itu pula yang menjadi persoalan kita semua, hamba-hamba Tuhan yang terlibat dalam pelayanan Tuhan? Syukur kepada Tuhan! Meskipun Tuhan tahu orang macam apakah kita ini; meskipun Tuhan tahu bahwa kita hanyalah sumbu-sumbu yang berasap yang tidak lagi mampu menyala terang; meskipun Tuhan tahu bahwa kita hanyalah buluh-buluh yang telah terkulai yang tidak ada gunanya lagi selain dipatahkan dan dibuang, pengetahuan Tuhan itu tidak menurunkan keyakinan Tuhan bahwa kita masih dapat dipulihkan dan dapat menjadi seorang hamba yang baik. Karena itu Ia datang dan berkata, “Sumbu yang berasap tidak akan Kupadamkan, buluh yang terkulai tidak akan Ku-patahkan.” Ia tidak memandang hina kekurangan-kekurangan kita. Ia tidak mencari seorang hamba yang sempurna, tetapi seorang hamba yang mau berpegang teguh pada kebenaran dan berusaha mewujudkannya dalam kehidupannya. Ia menghargai seorang hamba yang memiliki komitmen untuk hidup berintegritas dan yang rela ditegur oleh orang lain bila ia tidak bertindak konsisten dengan kebenaran itu. Saudara, integritas dimulai dengan suatu kejujuran untuk mengakui kelemahan-kelemahan kita. Kemudian meminta Tuhan untuk menolong kita mengatasi kelemahan-kelemahan itu. Maka kasih karunia-Nya cukup untuk memampukan kita dalam mengatasi kelemahan-kelemahan itu dan mengubahnya menjadi tempat di mana kita selalu bersandar pada Tuhan.

GAYA PENGKHOTBAH

Hamba-hamba Tuhan mempunyai gaya berkhotbah yang berbeda-beda. Ada hamba Tuhan yang berkhotbah dengan berapi-api dan berkesan galak, ada hamba Tuhan yang berkhotbah dengan lembut kebapakan, ada hamba Tuhan yang berkhotbah dengan begitu serius seperti nabi, tapi ada pula yang berkhotbah dengan jenaka dan bersahabat. Bila kita coba memikirkan faktor-faktor apakah yang membentuk gaya berkhotbah seorang pengkhotbah, maka kita akan menemukan satu analisa yang sangat menarik yang mungkin dapat membantu kita, sebagai seorang pengkhotbah, dalam mengembangkan gaya berkhotbah kita sendiri. Faktor-faktor pembentuk itu banyak dan kompleks, namun di sini saya akan membatasinya hanya pada tiga faktor yang dominan saja, yakni temperamen, peniruan, dan citra diri pengkhotbah. Temperamen Dari sudut psikologi, kita tahu bahwa manusia mempunyai temperamen yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Pada dasarnya temperamen manusia dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Kolerik, Sanguin, Melankolik, dan Plegmatik. Walaupun tidak ada manusia yang melulu memiliki satu temperamen—pada hakekatnya setiap manusia memiliki campuran temperamen—namun, tetap ada satu temperamen yang dominan dalam diri seseorang. Temperamen yang dominan ini bukan hanya mempengaruhi pembawaan seorang pengkhotbah dalam kehidupannya sehari-hari, tapi juga mempengaruhi gaya berkhotbahnya di mimbar. Seorang yang bertemperamen Sanguin, yang biasanya lebih bersifat ekstrovet, mungkin lebih menarik dan bersahabat dalam menyampaikan Firman Tuhan dibanding dengan seorang plegmatik yang introvet dan dingin. Namun seorang Plegmatik mungkin mampu berkhotbah dengan pemikiran yang lebih mendalam dari pada pengkhotbah dengan temperamen lainnya. Seorang pengkhotbah yang Kolerik nampak lebih tegas dan berwibawa dalam berkhotbah, namun seorang pengkhotbah yang bertemperamen melankolik bisa jadi lebih mengunggulinya dalam menyentuh hati pendengar. Barangkali ada di antara kita yang tidak begitu yakin dengan analisa temperamen ini, yang lebih bernuansa psikologis daripada alkitabiah, tetapi pada kenyataannya seorang pengkhotbah menyadari ada suatu pembawaan yang dominan dalam dirinya—yakni temperamen—yang tidak bisa ia abaikan begitu saja, apalagi mengubahnya. Ketika ia mencoba gaya yang berbeda dari pembawaannya, ia merasa sangat sukar dan tidak nyaman. Fakta itu menunjukkan bahwa, pada hakekatnya, gaya berkhotbah seorang penkhotbah tidak akan bergeser jauh dengan temperamen yang ia miliki. Peniruan Faktor lain yang dapat membentuk gaya seorang pengkhotbah dalam berkhotbah adalah faktor peniruan. Meskipun setiap pengkhotbah itu unik dalam gaya berkhotbahnya, ada sebagian pengkhotbah justru selalu berusaha untuk meniru gaya berkhotbah dari pengkhotbah lain. Peniruan gaya berkhotbah ini bersumber dari imaginasi pengkhotbah tersebut yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh idolanya. Harus kita akui, pada umumnya setiap pengkhotbah sedikit banyak dipengaruhi oleh satu atau dua pengkhotbah lainnya. Hal itu wajar terjadi dan tidak perlu menimbulkan perasaan bersalah. Yang tidak wajar adalah bila kita terus menerus meniru gaya orang lain tanpa berusaha untuk keluar dari keterikatan tersebut dan mencari bentuk kita sendiri. Seorang pengkhotbah yang “dewasa” akan merasa tidak nyaman untuk meniru gaya pengkhotbah lain. Ia akan mantap dengan gayanya sendiri. Di samping itu, ia menyadari bahwa jemaat tidak akan menjadi kagum dengan akting peniruaannya; sebaliknya, mereka akan menjadi “geli” dengan gaya imitasinya. Kita bisa membayangkan perasaan tidak nyaman seorang pengkhotbah bila setelah usai kebaktian seseorang mengatakan kepadanya bahwa ia berkhotbah mirip dengan Pendeta anu atau Pendeta itu. Perkataan seperti itu jelas bukan pujian yang harus diterima dengan senang hati oleh si pengkhotbah, kecuali citra diri pengkhotbah itu memang lemah. Satu fakta yang perlu kita ingat adalah bahwa seorang pengkhotbah yang terkenal dipuji bukan karena ia dapat berkhotbah dengan gaya mirip seorang pengkhotbah terkenal lainnya, tapi karena ada sesuatu yang unik di dalam diri dan khotbahnya, termasuk gaya berkhotbahnya. Bila kita merasa bahwa sebagian besar gaya kita masih dibayang-bayangi oleh gaya pengkhotbah idola kita, dan kita ingin memiliki gaya berkhotbah khas kita sendiri, maka ada beberapa hal yang perlu kita pikirkan. Yang pertama, perlu kita sadari bahwa Allah tidak pernah menciptakan seorang manusia pun sama dengan manusia lainnya, demikian juga setiap pengkhotbah. Setiap pengkhotbah unik bukan hanya dalam temperamen, karakter, latarbelakang hidup, tapi juga unik dalam gaya menyampaikan firman Tuhan. Oleh karena itu, usaha untuk menjadi sama seperti pengkhotbah lain, meniru bahkan menjiplak, merupakan usaha yang berlawanan dengan rencana Allah yang indah bagi setiap pengkhotbah. Dengan perkataan lain, selama kita berkhotbah tidak dengan gaya kita sendiri, selama itu pula kita tidak pernah menjadi seorang pengkhotbah yang pas dengan maksud Tuhan. Satu hal yang perlu kita yakini ialah bahwa setiap gaya yang orsinil mampu berbicara lebih efektif dari pada gaya imitasi yang kita tiru dari seorang pengkhotbah yang paling efektif. Usaha kedua yang perlu dilakukan adalah timbulkan perasaan malu dalam diri kita pada waktu kita meniru baik isi khotbah dan juga kata-kata dari pengkhotbah yang menjadi idola kita. Perasaan malu itu bukan hanya akan memagari diri kita untuk tidak melangkah ke lahan gaya orang lain dan mengklaimnya sebagai hasil tanaman kita sendiri, tapi juga memaksa kita mencari bentuk dan mengembangkan gaya khotbah khas kita. Tuhan tidak menuntut kita untuk menjadi seperti seorang lain sebelum Dia memakai kita; sebaliknya, Ia memakai kita dengan keunikan yang ada pada kita. Dengan mata imaginasi kita dapat melihat betapa bingungnya Daud ketika ia “dipaksa” oleh Saul untuk memakai baju perang dan ketopong tembaga milik Saul pada waktu ia hendak berperang melawan Goliat. Saul, yang tubuh yang lebih tinggi dari rata-rata orang sezamannya, memang adalah pendekar perang yang tangguh, tapi fakta itu tidak berarti bahwa Daud yang bertubuh lebih kecil tidak dapat dipakai Tuhan sebagai alat-Nya. Daud menyadari bahwa baju perang Saul tidak pas untuknya, maka ia melepaskannya dan mengenakan bajunya sendiri. Kepercayaan dirinya tidak merosot dan ia tetap yakin bahwa dengan keunikannya Allah dapat memakainya. Keyakinan seperti itulah yang seharusnya ada dalam diri kita sebagai seorang pengkhotbah. Dari pada menjiplak gaya orang lain, pasti akan jauh lebih baik jika kita mengembangkan gaya berkhotbah kita sendiri. Kita dilahirkan orsinil mengapa kita harus menjadi pengkhotbah copy-an?. Be ourself. Citra Diri Pengkhotbah Sebagian besar pengkhotbah mempunyai citra tentang siapakah dirinya sebagai seorang pengkhotbah dan apa yang sedang ia kerjakan. Sebagian lagi, mungkin, mempunyai konsep yang samar-samar atau bahkan tidak pernah memikirkan sama sekali tentang apa dan siapakah diri mereka sebagai seorang pengkhotbah. Sebenarnya, andil yang terbesar dalam membentuk gaya seorang pengkhotbah adalah citra diri yang dimilikinya sebab citra diri tersebut mendorongnya untuk bergaya seperti apa yang ia bayangkan. Jika seorang pengkhotbah mempunyai gambaran bahwa dirinya adalah seorang “nabi”, ia akan berkata-kata dengan sangat otoritatif seolah-olah ia mendengar suara Allah atau mendapat penglihatan langsung dari Allah. Namun, jika seorang pengkhotbah mempunyai gambaran bahwa dirinya adalah seorang pengajar, maka ia akan berkhotbah dengan gaya seorang guru yang berlakon di depan murid-muridnya. Hal yang serupa terjadi, jika seorang pengkhotbah mempunyai konsep bahwa dirinya adalah seorang gembala, maka gaya khotbahnya lebih cenderung lembut, tenang dan berisi banyak wejangan. Namun, jika seorang pengkhotbah mempunyai gambaran dirinya adalah seorang “entertainer”, maka ia akan berkhotbah dengan gaya yang lucu dan terus melucu. Sebenarnya, ada banyak konsep tentang siapakah pengkhotbah itu, baik yang Alkitabiah maupun yang bukan. Namun demikian, Thomas G. Long dalam bukunya, The Witness of Preaching, menyakinkan bahwa gambaran yang paling tepat dan sehat tentang siapakah seorang pengkhotbah itu terdapat dalam Yesaya 43:8-13 dan Kisah Para Rasul 20:24, yakni, seorang pengkhotbah adalah “seorang saksi”. Gambaran “seorang saksi” menekankan bahwa (1) seorang pengkhotbah bukan sumber otoritas, tetapi ia hanya seorang saksi yang telah melihat dan mendengar firman Tuhan lebih dahulu. Ia adalah juga bagian dari jemaat dan berasal dari jemaat, kemudian diutus oleh jemaat untuk pergi menyaksikan—mendengar dan melihat—firman Tuhan untuk kemudian menyampaikan kepada jemaat apa yang telah ia saksikan. (2) Itulah sebabnya, ia tidak diharapkan untuk menyaksikan hal-hal yang lain, termasuk menyaksikan kehebatan dirinya, tetapi hanya menyampaikan berita dari firman Tuhan yang telah ia saksikan. Ini bukan berarti seorang pengkhotbah tidak boleh sama sekali menceritakan tentang dirinya di mimbar, tetapi pengertian ini lebih menekankan bahwa fokus khotbah bukanlah diri si pengkhotbah itu sendiri, melainkan berita firman Tuhan. (3) Kesaksiannya sangat penting karena menyangkut kebenaran ilahi yang bersifat kekal yang mempengaruhi pengetahuan dan pertumbuhan iman jemaat. (4) Kesaksian tersebut bukan hanya sekedar kata-kata belaka, tetapi juga menyangkut keterikatan total antara kata dan perbuatan dari si pengkhotbah. Dengan kata lain, integritas seorang pengkhotbah memegang peranan penting dalam tugasnya. (5) Yang terakhir, tentu saja dalam tugas sebagai saksi, seorang pengkhotbah dituntut untuk merancang lebih dahulu tentang bentuk kesaksiannya atau cara mengkomunikasikannya agar berita yang ia sampaikan dapat diterima oleh jemaat dengan baik. Konsep ini sangat baik dan bermanfaat karena menempatkan seorang pengkhotbah pada posisi yang tepat tentang siapakah ia dan apa yang sedang ia kerjakan. Seorang pengkhotbah yang menghayati konsep ini tidak akan pernah bergaya otoritatif begitu rupa seolah-oleh ia adalah sumber otoritas itu sendiri. Ia akan tetap menghormati Tuhan, sebagai sumber otoritas yang ia saksikan, dan jemaat yang mendengar khotbahnya. Ia akan selalu ingat bahwa ia adalah bagian dari jemaat, berasal dari jemaat, dan diutus oleh jemaat. Dengan menghayati konsep ini, seorang pengkhotbah juga diingatkan bahwa ia berdiri di mimbar sebagai seorang saksi untuk menyaksikan dan menyuarakan firman Tuhan, bukan untuk menyaksikan hal-hal lain, termasuk filsafat, psikologi, sosiologi, manajemen, atau hal-hal lainnya. Firmanlah yang menumbuhkan iman jemaat dan firmanlah yang mengubah hidup mereka. Oleh karena itu, ia akan sangat serius dalam mempersiapkan firman Tuhan. Ia pergi ke ruang belajarnya sebagai seseorang yang diutus jemaat untuk menyaksikan firman Tuhan. Ia menyelidiki, menganalisis, dan bergumul berjam-jam bahkan berhari-hari dengan bagian Alkitab yang akan dikhotbahkannya untuk menyaksikan—melihat dan mendengar—kehendak Tuhan bagi jemaat. Setelah mendapatkannya, ia dengan keseriusan yang sama memikirkan bentuk penyampaian yang paling efektif sehingga berita yang hendak ia sampaikan dapat diterima oleh jemaat dengan baik. Selanjutnya, konsep ini secara implisit menyatakan bahwa khotbah bukanlah suatu karangan intelektual belaka yang disusun berdasarkan urutan yang logis; khotbah juga bukan suatu rangkaian kesaksian pribadi yang diceritakan karena ada sesuatu yang menyentuh di dalamnya. Memang khotbah yang baik menuntut baik cara pikir yang logis maupun kesaksian pribadi yang menyentuh hati pendengar, tapi yang pertama dan terutama khotbah adalah suatu event (peristiwa, saat) di mana seorang pengkhotbah berdiri sebagai seorang saksi yang telah menyaksikan kehendak Tuhan dalam Alkitab yang ia telah gumuli berhari-hari lamanya. Event itu akan sungguh-sungguh menjadi event yang penting bagi jemaat yang mendengarnya bila mereka tahu bahwa orang berdiri berdiri sebagai saksi itu memiliki keterpaduan antara kata dan tindakan: integritas. Arah yang Benar Membawa ke Tujuan yang Benar Setelah kita mengikuti uraian di atas, kita mendapati bahwa gaya berkhotbah seorang pengkhotbah tidak hanya sekedar melukiskan cara seorang pengkhotbah menyampaikan firman Tuhan, tetapi lebih dalam dari itu, yaitu menjelaskan tentang siapakah ia sebenarnya, paling sedikit mengindikasikan temperamen dan citra dirinya sebagai seorang pengkhotbah. Dari kedua hal itu, kita dapat menyimpulkan bahwa apapun temperamen yang dimiliki oleh seorang pengkhotbah tidak akan pernah menghalanginya untuk menyampaikan firman Tuhan dengan baik dan benar. Tetapi citra diri pengkhotbah akan sangat mempengaruhi apakah ia melakukan tugas dengan baik dan benar atau tidak. Bila kita ingin mengembangkan gaya berkhotbah khas kita sendiri, kita tidak perlu meniru gaya berkhotbah dari pengkhotbah lain, kita juga tidak perlu menyesal bahwa kita bukan tipe temperamen tertentu, tetapi yang paling penting yang kita perlukan adalah memiliki citra diri seorang pengkhotbah yang benar, yang sehat, dan alkitabiah. Dengan menyakini bahwa seorang pengkhotbah adalah seorang saksi, kita akan selalu disadarkan untuk berlakon sewajarnya sesuai dengan tugas dan posisi kita. Yohanes Pembaptis mengerti sepenuhnya tentang hal itu, karena itu ia berkata kepada murid-muridnya, “Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya” (Yoh 3:28).” Akhirnya, citra diri yang benar membawa Yohanes Pembaptis pada tujuan yang benar, ini nampak dalam perkataannya, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30).

TIPS MEMBAWAKAN KHOTBAH

Kata “memaksa” memang sengaja dipakai sebagai judul. Tujuannya sederhana, yaitu untuk menarik perhatian pembaca sehingga tulisan ini dibaca. Suatu tulisan sebaik dan sebermanfaat apapun bila tidak ada yang membacanya, sudah pasti tidak ada gunanya. Namun, itu bukan satu-satunya tujuan. Kata “memaksa” dipergunakan juga dengan maksud untuk melukiskan suatu keadaan yang sering terjadi dalam kebaktian-kebaktian minggu, yaitu jemaat tidak lagi antusias dalam mendengarkan khotbah. Keadaan ini tentu saja mendatangkan perasaan tidak nyaman pada banyak pengkhotbah. Kalau saja seorang pengkhotbah boleh berteriak untuk memarahi jemaat yang tertidur, ngobrol, atau mendengarkan tanpa minat, niscaya ia sudah melakukannya. Tetapi tentu saja pengkhotbah tidak dapat berbuat demikian, bukan karena ia tidak mampu tetapi karena itu tidak etis. Sebenarnya, demi firman Tuhan, pengkhotbah tidak perlu ragu untuk “memaksa” jemaat mendengarkan khotbahnya. Hanya “memaksa” bukan dengan intimidasi atau kekerasan, melainkan dengan seni “memaksa” sehingga jemaat dengan suka rela mendengarkan apa yang dikhotbahkan bahkan merasa rugi bila tidak mendengarkan. Nah, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan tip-tip pencerahan bagi para pengkhotbah dengan harapan bisa menjadi oasis di tengah-tengah kejenuhan pengkhotbah dalam upaya merebut kembali antusiasme jemaat untuk mendengarkan firman Tuhan. KEADAAN JEMAAT DI ERA PASCAMODERN Untuk bisa “memaksa” jemaat masa kini mendengarkan khotbah dengan antusias, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah memahami karakteristik masyarakat pascamodern di mana jemaat tinggal di dalamnya dan tumbuh bersama dengannya. Pendengar pascamodern berpikir secara berbeda daripada orang-orang pada era modern. Walaupun masyarakat Indonesia tidak bisa disamakan seratus persen dengan masyarakat pascamodern di negara-negara maju, namun arah yang semakin serupa telah terlihat, khususnya masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Hal ini tampak dari mental, pola pikir, dan gaya hidup masyarakat kita, termasuk masyarakat Kristen. Ada perbedaan nilai-nilai yang signifikan antara jemaat pada era pascamodern dan jemaat era modern sehubungan dengan sikap mereka dalam mendengarkan khotbah. Perubahan-perubahan nilai inilah yang perlu kita ketahui. Satu tantangan khusus bagi kita sebagai pengkhotbah masa kini adalah bagaimana caranya menarik perhatian berbagai macam pendengar pascamodern agar mereka mau mendengarkan firman Tuhan sehingga mereka dapat mengalami transformasi kehidupan. Untuk itu, kita perlu memikirkan pendekatan yang efektif yang sesuai dengan konteks mereka. Di bawah ini ada beberapa pemikiran yang dapat membuat jemaat kembali antusias dalam mendengarkan khotbah-khotbah kita. MENGUBAH TUJUAN KHOTBAH DARI INFORMASI KE TRANSFORMASI Pada era modern, di mana setelah Renaissance terjadi kebangkitan intelektual, khotbah-khotbah Kristen menjadi begitu teologis dan argumentatif. Hal ini bermula karena pada waktu itu doktrin Kristen mendapat serangan-serangan yang serius baik dari dalam maupun dari luar kekristenan. Karenanya, dalam mempertahankan doktrin Kristen yang benar, para teolog Kristen dengan segenap kemampuan intelektualnya melakukan pembelaan dengan argumen-argumen yang solid. Apa yang dilakukan oleh para teolog itu sangat penting dan terpuji. Namun, dalam kurun waktu yang lama, hal ini mempengaruhi khotbah-khotbah Kristen. Khotbah cenderung melulu mengarah kepada pikiran pendengar. Sebagian besar waktu khotbah dipakai untuk memberikan penjelasan teks atau arti teologisnya. Sedangkan unsur-unsur lain, seperti pendahuluan, ilustrasi, aplikasi dan penutup tidak begitu mendapat perhatian. Tak heran, kebanyakan khotbah sarat dengan bobot doktrinal dan bersifat informatif. Mungkin asumsinya adalah bila paradigma jemaat benar karena pengajaran yang benar, maka tingkah laku mereka dengan sendirinya akan benar. Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya; jemaat tahu banyak tentang Allah namun mereka merasa “kering” dalam spiritualitas. Pada zaman pascamodern ini, jemaat rindu bukan hanya mendengar khotbah yang berbicara kepada kepala mereka namun juga kepada hati mereka; khotbah yang membawa mereka merasakan dan mengalami Allah, bukan hanya tahu tentang Allah. Di tengah-tengah kehidupan yang semakin sulit, hari esok yang tidak pasti dan sikap manusia yang semakin individualistis, mereka mempunyai kebutuhan yang besar untuk merasakan kehadiran Allah dalam hidup mereka sehingga mereka merasa aman dalam menghadapi masa depan yang tidak menentu. Dengan kata lain, mereka membutuhkan transformasi, bukan sekadar informasi. Untuk menghasilkan khotbah yang transformatif, pengkhotbah harus mampu “memaksa” will atau kemauan jemaat untuk berkata yes kepada Tuhan dan no kepada bujukan setan dan nafsu kedagingan. Kemauan seseorang pendengar jarang sekali berespon hanya dengan mendengarkan khotbah yang sarat dengan muatan teologis dan akademis, tetapi tidak menyentuh hati mereka. Ini bukan berarti pengkhotbah pada era ini boleh menyajikan khotbah dengan isi yang tidak karuan. Sama sekali bukan. Khotbah harus tetap biblikal dan makna teologisnya benar. Namun, pengkhotbah perlu membedakan antara ruang kuliah dan mimbar gereja; antara seminar teologi dan khotbah. Yang pertama tidak menuntut porsi yang besar untuk berbicara kepada hati pendengar, yang terakhir justru sangat besar. Bila hati para pendengar tidak tersentuh, kebenaran firman Tuhan tetap tinggal sebagai knowlegde di kepala mereka. Tidak ada perubahan dalam will mereka. Sebaliknya, bila hati mereka telah tersentuh, himbauan pengkhotbah saat aplikasi akan menjadi lebih mudah untuk menggerakkan will mereka. Salah satu cara yang paling efektif untuk menyentuh hati jemaat adalah dengan cerita, baik itu kisah mengenai kesaksian hidup dan pergumulan pengkhotbah sendiri, kisah tentang orang lain maupun kisah-kisah fiktif. Ketika suatu ilustrasi dalam bentuk cerita mulai dikisahkan, mata jemaat mulai terkuak kembali, pikiran mereka bangun serempak seolah-olah menemukan sesuatu yang telah lama mereka nantikan. Cerita membuat jemaat terlibat di dalamnya dan melihat dirinya sendiri ada di sana. Cerita membuat pengajaran teologis merembes dalam dunia keseharian jemaat dan menembus jiwa mereka. Cerita membuat kisah “kuno” Alkitab kembali hadir pada masa kini dalam kehidupan jemaat sehingga khotbah bukan hanya sekadar informasi tentang Tuhan, melainkan juga membawa jemaat mengalami Tuhan. Pengalaman menunjukkan bahwa cerita mempunyai kemampuan untuk “memaksa” jemaat untuk mendengar sehingga mereka mengikutinya dengan sukarela. Inilah seni “memaksa” yang pertama. MENGUBAH STRUKTUR KHOTBAH DARI DEDUKTIF MENJADI INDUKTIF Salah satu sebab yang membuat jemaat tidak antusias dalam mendengarkan khotbah adalah karena mereka bertahun-tahun mendengarkan khotbah dengan pola yang sama. Setelah mendengarkan ratusan bahkan ribuan kali, jemaat biasanya sudah hafal apa yang akan dikatakan oleh pendetanya. Ada jemaat yang dengan bercanda mengatakan, “Kalau pendeta kami sudah berkata ‘poin ke tiga, … ’ maka hati kami mulai plong karena itu tandanya kami sudah berada di terminal terakhir. Apalagi, bila ia sudah mengatakan ‘semoga Tuhan membantu kita untuk melakukan firman Tuhan ini’, nah, itu adalah sebuah morning call bagi kami.” Pola atau struktur khotbah yang sama mendatangkan kebosanan bagi jemaat, bahkan juga bagi pengkhotbah sendiri. Tak jarang, perasaan jenuh menguasai diri pengkhotbah pada waktu ia mengevaluasi khotbahnya. Bertahun-tahun semua berjalan dengan cara yang sama, tidak ada yang baru; bertahun-tahun pula ia melihat jemaat mendengarkan khotbahnya tanpa gairah. Perubahan-perubahan mungkin telah dilakukannya, baik dari segi penyampaian maupun isi khotbah, namun semuanya itu tidak membuat perbedaan yang cukup berarti. Sebenarnya, salah satu faktor yang membuat khotbah akan dirasakan berbeda oleh jemaat adalah struktur khotbah. Bila struktur khotbah diubah, maka jemaat akan merasakan adanya sesuatu yang baru. Pada zaman pascamodern, masyarakat anti akan kemapanan. Bentuk arsitektur yang dulu simetris, klasik, agung, sekarang dianggap membosankan. Orang lebih senang dengan gaya minimalis yang mempunyai corak yang simple dan bebas. Begitu juga dengan pola khotbah. Mereka mengalami kejenuhan dengan pola khotbah yang sama selama bertahun-tahun. Diam-diam mereka menanti-nantikan pola khotbah yang baru, walaupun mereka tidak tahu apa yang baru itu. Sayangnya, pengharapan jemaat ini tidak sepenuhnya direkam oleh para pengkhotbah. Mereka masih cenderung mempergunakan pola khotbah yang sama, yakni struktur khotbah deduktif yang salah satu bentuknya dikenal dengan khotbah “three-point sermon.” Kita tahu bahwa struktur khotbah pada dasarnya ada dua macam, yaitu struktur deduktif dan yang lain adalah struktur induktif. Struktur deduktif menempatkan amanat khotbah di awal khotbah, setelah pendahuluan. Kemudian, pengkhotbah mulai memberi penjelasannya atau argumennya yang biasanya dalam bentuk poin-poin; tentu saja, tidak selalu tiga poin. Kelebihan struktur khotbah ini adalah alur pikirnya sangat jelas dan sistematis. Jemaat dari awal sudah diberi tahu apa topik pembicaraannya dan selanjutnya mereka hanya menunggu penjelasannya dari pengkhotbah. Namun, kekurangan dari struktur ini adalah partisipasi jemaat rendah. Mereka pasif, tidak terlibat langsung dalam pemikiran maupun emosi khotbah. Tidak ada misteri, tidak ada solusi yang mereka nantikan karena semuanya telah diberitahu sejak awal. Khotbah seolah-olah menjadi sebuah film dokumenter yang akhir ceritanya sudah diketahui. Atau, ibarat sebuah pesta ulang tahun anak-anak yang semua kuenya disajikan di awal acara. Tak pelak lagi, setelah itu sebagian besar anak-anak ingin cepat-cepat pulang. Struktur khotbah ini—yang mendominasi mimbar-mimbar gereja pada era modern—bisa jadi menimbulkan kebosanan bagi jemaat di era pascamodern. Struktur khotbah yang lain adalah induktif. Secara teknis struktur ini menaruh amanat khotbah di akhir khotbah. Di bagian awal, pengkhotbah biasanya memunculkan suatu pertanyaan yang kemudian akan berkaitan dengan topik yang akan dibahas. Namun, apa yang akan dibicarakan dari topik itu, atau bagaimana solusinya masih tersembunyi bagi jemaat. Karena itu, sepanjang khotbah jemaat ikut terlibat baik secara pikiran maupun emosi untuk menerka-nerka solusinya. Di akhir khotbahlah mereka baru mendapatkan jawabannya. Struktur induktif nampaknya lebih menarik karena keterlibatan pendengar dalam mengikuti jalannya khotbah sangat besar. Jemaat seakan-akan menonton film yang belum tahu bagaimana akhir ceritanya dan selama klimaksnya belum tiba, maka mereka akan terus menyaksikannya dengan antusias. Struktur khotbah ini lebih cocok dengan pola pikir orang pada zaman pascamodern. Menurut Eugene Lowry paradigma homiletik lama telah semakin tergeser dengan paradigma homiletik baru. Pergeseran itu mencakup perubahan dari deduktif ke induktif, dari retoris ke puitis, dari ruang ke waktu, dari literal ke oral, dari prosa ke puisi, dari panas ke dingin, dari kredo ke himne, dari sains ke seni, dari belahan otak kiri ke belahan otak kanan, dari proposisi ke perumpamaan, dari langsung ke tidak langsung, dari susunan ke pengembangan, dari diskursif ke estetis, dari tema ke peristiwa, dari penjelasan ke gambar, dari poin ke kenangan, dari otoriter ke demokrasi, dari kebenaran ke makna, dari laporan ke pengalaman.[1] Dengan kata lain, prinsip dasar dari homiletik baru adalah diskursif, deduktif, dan khotbah proposisi tidak lagi menjadi metode yang menarik bagi pendengar masa kini. Untuk itu, pengkotbah perlu membiasakan diri dengan struktur khotbah induktif. Walaupun mengubah kebiasaan lama yang sudah bertahun-tahun mendarah daging tidak mudah, namun tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru sebagai alternatif mengusir kebosanan. Setelah melihat dampak positifnya, niscaya kita akan terdorong untuk lebih sering melakukannya. Inilah cara kedua “memaksa” jemaat untuk mendengarkan khotbah dengan antusias. MENGUBAH BAHASA KONSEPTUAL MENJADI BAHASA GAMBAR Dalam bukunya Preaching to a Postmodern World: A Guide to Reaching Twenty-first Century Listener, Graham Johnston, menyatakan bahwa era modern didominasi oleh kata-kata yang dicetak, namun pada era pascamodern gambar menguasai kata-kata yang dicetak. Johnston mengamati fungsi yang unik dari gambar: “Gambar meninggalkan pemirsa bukan dengan gagasan-gagasan yang disusun dengan rapi, melainkan dengan kesan. Gambar berfungsi untuk mengizinkan pemirsa membangun penafsirannya sendiri.”[2] Bagi orang-orang pada zaman pascamodern, audio visual sudah menjadi “lauk pauk” sehari-hari. Melalui TV, film, komputer, handphone, handicam dlsb, orang-orang masa kini menikmati hiburan, informasi dan pendidikan dalam bentuk gambar. Bisa kita bayangkan apa yang jemaat rasakan pada waktu mereka mendengar khotbah. Tidak ada latarbelakang yang berganti-ganti, tidak ada musik pendukung, dan juga tidak ada artis-artis professional selain pengkhotbah sendiri. Jemaat hanya melihat satu orang yang sama dengan suara yang sama dan latar belakang panggung yang sama. Hampir seluruh pesan khotbah disampaikan hanya dengan sarana kata-kata. Tidak heran, bila konsentrasi jemaat dalam mendengarkan khotbah sangat pendek. Apalagi, yang didengar adalah proposisi-proposisi kebenaran mutlak, bahasa teknis teologi, atau bahasa konsep yang “kering”. Pasti sangat membosankan jemaat. Namun demikian, itu bukan berarti kita tidak mungkin “memaksa” jemaat untuk tetap mendengar khotbah kita. Caranya adalah dengan mengubah sebisa mungkin bahasa konsep menjadi bahasa gambar. Bahasa konsep adalah bahasa teknis, berisi definisi, istilah-istilah teologis, penjelasan-penjelasan abstrak dan argumentasi. Ibarat sawah di kemarau panjang: kering dan gersang; begitulah bahasa konsep. Tidak ada kehidupan, tidak ada gerak, tidak ada emosi, tidak menyentuh panca indera, lebih banyak menggunakan kata benda atau kata ganti daripada kata kerja dan kata sifat. Sebaliknya, bahasa gambar adalah bahasa yang menimbulkan sentuhan pada panca indra, hidup, bergerak, berperasaan, berwarna, penuh kiasan (metafora), membangkitkan imajinasi pendengar. Bahasa seperti ini, kadang-kadang, tata bahasanya tidak terlalu tepat, tapi sangat akrab dan mengena di telinga pendengar. Dampaknya langsung dirasakan oleh pendengar karena mereka tidak perlu mencerna dua tiga kali tentang apa yang dimaksud oleh si pengkhotbah. Dengan memakai banyak kata kerja, kata sifat dan kata keterangan, bahasa gambar menciptakan film dalam benak pendengar. Seperti film yang menyajikan panorama gambar untuk menyampaikan beritanya, seorang pengkhotbah sebaiknya menciptakan gambar-gambar dengan kata-katanya sehingga jemaat bukan hanya mendengar berita yang disampaikan, tapi juga melihat dan merasakannya. Mereka mengalami atau masuk ke dalam situasi yang dilukiskan pengkhotbah. Bahasa seperti itulah yang digunakan dalam 2 Samuel 17, “Demikianlah aku akan membawa pulang seluruh rakyat itu kepadamu seperti seorang mempelai perempuan kembali kepada suaminya (ay.3) . . . . Kata Husai pula: “Engkau tahu, bahwa ayahmu dan orang-orangnya adalah pahlawan, dan bahwa mereka sakit hati seperti beruang yang kehilangan anak di padang (8). . . . Maka seorang gagah perkasa sekalipun yang hatinya seperti hati singa akan tawar hati sama sekali (10) . . . . Apabila kita mendatangi dia di salah satu tempat, di mana ia terdapat, maka kita akan menyergapnya, seperti embun jatuh ke bumi, sehingga tidak ada yang lolos, baik dia maupun orang-orang yang menyertainya. Dan jika ia mengundurkan diri ke suatu kota, maka seluruh Israel akan mengikat kota itu dengan tali, dan kita akan menyeretnya sampai ke sungai, hingga batu kecilpun tidak terdapat lagi di sana” (12-13). Dengan sangat pandai Nabi Natan menggunakan bahasa seperti ini pula untuk menyampaikan tegurannya kepada Daud yang telah melakukan dosa yang amat keji di hadapan Allah, yaitu berzinah dengan Batsyeba dan membunuh suaminya, Uria (2 Sam. 12:1-14). Yesus juga mengajar murid-murid-Nya dengan bahasa gambar. Kepada para murid-Nya yang sedang kuatir akan masa depan mereka, Ia berkata, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu melebihi burung-burung itu?” (Matius 6:26). Para murid tidak perlu memikirkan dua kali apakah yang dimaksud Yesus dengan perkataannya itu, sebab bahasa yang Yesus gunakan sudah menciptakan dalam pikiran mereka gambaran burung-burung yang terbang merdeka di langit bebas dan gambaran petani yang dengan susah payah sedang menabur, menuai, dan mengumpulkan bekal dalam lumbung. Dari dua gambar yang kontras itu mereka dengan cepat mengerti dan merasakan betapa Allah sangat memperhatikan kebutuhan mereka sehingga mereka tidak perlu kuatir akan hidup mereka. Seorang pengkhotbah yang berkhotbah dengan bahasa seperti ini akan selalu mampu “memaksa” pendengarnya untuk terus memperhatikan khotbahnya. Inilah seni “memaksa” yang ketiga. MENGUBAH GAYA KHOTBAH OTORITER MENJADI KHOTBAH PERCAKAPAN Masyarakat pascamodern sangat sensitif dengan sikap yang otoriter dan klaim-klaim kebenaran yang absolut. Mereka menganggap semua orang mempunyai kebenaran masing-masing, serta kesempatan, kebebasan dan hak yang sama. Belakangan ini kita melihat pemimpin-pemimpin negara-negara Arab yang otoriter diguncang oleh rakyatnya yang tidak lagi bersedia hak dan kebebasan mereka ditindas. Hal yang sama terjadi pada pemirsa TV. Bila seorang pembawa acara TV berkata, “Jangan pindahkan channel Anda …” atau “Tetaplah bersama kami …” hampir bisa dipastikan bahwa kebanyakan pemirsa justru melakukan hal yang sebaliknya. Ucapan seperti itu terasa sangat mendikte dan merampas kebebasan orang. Dewasa ini, sesuatu yang bersifat absolut dan otoriter tidak lagi mendapat tempat. Disadari atau tidak, sikap jemaat terhadap hamba Tuhan banyak diwarnai oleh nilai-nilai seperti ini. Bagi kebanyakan jemaat pada era kini, pendeta atau hamba Tuhan adalah manusia biasa yang memiliki otoritas tidak lebih dari mereka, hanya profesinya saja yang berbeda. Itulah sebabnya, berkhotbah dengan nada keras, otoritatif, dan sinis tidak lagi disukai. Nilai-nilai demikian, mau tidak mau, menimbulkan tantangan baru dalam berkhotbah. Kita menyadari bahwa dasarnya khotbah Kristen berdiri pada sesuatu yang bersifat absolut, yakni firman Tuhan, demikian juga dengan Injil. Bahwa manusia diselamat bukan karena perbuatan baiknya dan Yesus adalah satu-satunya jalan yang memungkinkan manusia sampai kepada Bapa adalah klaim yang bersifat absolut. Apakah itu berarti bahwa khotbah Kristen tidak lagi punya kesempatan untuk didengarkan oleh masyarakat masa kini? Apakah ini yang membuat jemaat enggan untuk mendengarkan khotbah? Jawabnya, maybe yes, maybe no. Yang terpenting adalah apakah pengkhotbah memahami paradigma pendengar masa kini dan berupaya mengkomunikasikan kebenaran Alkitab dengan cara yang sesuai dengan konteks mereka. Keyakinan bahwa firman Tuhan dan Injil itu bersifat mutlak tidak perlu disembunyikan, begitu pula dengan otoritas seorang pengkhotbah yang berasal dari Allah dan bukan dari dirinya sendiri. Namun, hal ini tidak dimaksudkan bahwa seorang pengkhotbah boleh berkhotbah dengan cara yang otoriter. Dewasa ini, jemaat lebih dapat menerima khotbah dengan nada percakapan (conversational preaching) di mana jemaat dianggap sebagai teman bicara yang baik, anggota keluarga dalam suatu komunitas, atau “pelanggan” yang dihargai dan dihormati; bukan murid yang harus digurui. Sebelum berkhotbah, pengkhotbah demikian biasanya memberi salam sehangat mungkin dan senyum selebar mungkin kepada jemaat. Pada waktu berkhotbah, nadanya pun tidak preachy – berusaha keras meyakinkan orang untuk menerima gagasannya dengan cara yang membuat orang lain merasa tidak nyaman. Sekali-kali di tempatkannya humor-humor kecil yang membuat khotbahnya tetap segar. Ia tidak mempunyai kecenderungan mendiskretkan orang atau gereja lain. Dengan model percakapan, ia tidak terikat pada naskah khotbahnya dan berbicara dengan santai namun penuh percaya diri. Ia berusaha menciptakan pertanyaan-pertanyaan dan dialog-dialog yang mengungkapkan pikiran-pikiran jemaat baik yang pro ataupun yang kontra terhadap kebenaran yang sedang dibahas. Namun, pada akhirnya ia dengan kepiawaiannya menggiring pikiran jemaat untuk melihat kebenaran firman Tuhan dan dengan persuasif menghimbau jemaat untuk melakukan firman itu. Dengan cara ini, sebenarnya ia melibatkan jemaat dalam proses pencarian kebenaran, bukan mencekokinya, sehingga jemaat merasa dihargai dan diperlakukan sebagai pribadi yang dewasa. Inilah seni “memaksa” jemaat yang keempat. MENGUBAH HAL-HAL YANG TEORITIS MENJADI PRAKTIS Masyarakat pada zaman pascamodern adalah masyarakat yang tenggelam dalam tsunami informasi. Salah satu konsekuensinya adalah setiap saat, suka atau tidak, otak mereka dipaksa bekerja secara multitasking. Majalah TIME menyebut generasi masa kini sebagai “Generation M” – M kependekan dari multitasking – di mana pada suatu saat yang sama otak dipaksa untuk memikirkan beberapa hal sekaligus. Orang-orang di era kini dapat membagi waktu dan perhatian antara menonton TV dan mengetik email, mengendari mobil dan SMS atau bertelepon, mendengarkan musik, Facebook, blog dan meeting, dll. Begitu juga saat jemaat mendengarkan khotbah, otak mereka yang multitasking terus bekerja. Pengaruh pragmatisme, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu bisa dianggap benar dengan melihat akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis, membuat mereka selalu berpikir dari keuntungan diri mereka sendiri. Gabungan dari dua faktor ini sangat mempengaruhi filosopi hidup mereka. Nilai-nilai hidup mereka tidak lagi berdasar pada apa yang benar, tetapi apa yang bermanfaat. Pada waktu mendengarkan khotbah, mereka tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik. Mereka menjadi tidak sabar mendengarkan khotbah yang bertele-tele, termasuk khotbah yang sarat dengan penjelasan latar belakang teks mirip kuliah eksegese atau teologi. Ini bukan berarti mereka tidak bersedia mendengar tentang penjelasan teks – sebagian mereka malah mengharapkan – tetapi tentu saja penjelasan yang signifikan, relevan, dan to the point. Setelah itu, mereka mengharapkan pertanyaan mereka – “praktisnya apa?” – segera terjawab. Sayangnya, masih banyak pengkhotbah yang asyik berlama-lama dalam penjelasan teks secara rinci. Tidak jarang, pengkhotbah membahas persoalan tentang sumber teks, waktu penulisan teks, struktur teks, analisis arti kata dan tata bahasa yang tempatnya seharusnya ada di ruang studi pengkhotbah. Akibatnya, khotbah miskin akan ilustrasi dan aplikasi; ujung-ujungnya, jemaat merasa tidak mendapat apa-apa. Yang perlu selalu disadari adalah bahwa jemaat datang ke gereja bukan untuk mendapatkan informasi, melainkan transformasi. Mereka beribadah bukan untuk menambah pengetahuan Alkitab ke isi kepala mereka, melainkan mencari sesuatu yang rohani yang dapat mengisi hati mereka yang gelisah, kuatir, kosong dsb. Yang mereka butuhkan bukan teori yang berlebihan, melainkan aplikasi khotbah yang relevan. Itulah sebabnya, mereka selalu bertanya-tanya, “praktisnya apa?” Ketika tidak menemukan nilai praktis dari kebenaran yang dikhotbahkan, mereka kehilangan gairah untuk mendengarkan. Menyadari karakteristik jemaat seperti ini, pengkhotbah memerlukan strategi komunikasi yang jitu. Membuat dan menjalankan strategi yang baru tentu diperlukan kemauan dan kerelaan untuk mengubah pola komunikasi yang lama. Hal yang utama yang perlu dilakukan adalah pengkhotbah perlu mengikis habis penjelasan-penjelasan teks yang tidak signifikan dan relevan baik yang bersifat biblikal maupun doktrinal dan memberikan lebih banyak contoh-contoh kehidupan sehari-hari serta menunjukkan penerapannya. Salah satu cara yang paling efektif untuk mengajarkan nilai praktis kebenaran firman Tuhan itu adalah dengan men-sharing-kan pergumulan pengkhotbah dalam melakukan kebenaran tsb. Di masa lalu, pengkhotbah yang dipandang baik adalah pengkhotbah yang tidak sedikit pun mengisahkan tentang dirinya. Jemaat pun punya pandangan yang sama. Tidak heran, bila dulu dalam suatu retreat, jemaat tetap tertarik untuk mendengarkan seorang pengkhotbah yang berkhotbah enam sampai delapan sesi tanpa sekali pun men-sharing-kan diri dan pergumulannya dalam menjadi pelaku firman Tuhan. Tetapi di era kini, jemaat tidak akan tahan bila semua yang dikatakan pengkhotbah melulu dalam tataran teoritis. Otak mereka yang multitasking akan segera berpindah channel ketika mereka tidak menemukan nilai praktis dari sebuah khotbah. Channel mereka akan segera kembali pada saat pengkhotbah mulai menerapkan yang teoritis itu menjadi praktis, terlebih lagi ketika pengkhotbah mau membagikan pergumulannya dalam menjadi pelaku firman tersebut. Pergumulan itu tidak harus selalu tentang keberhasilan, bisa juga kegagalan. Yang terakhir ini justru sering lebih menyentuh hati jemaat. Inilah seni “memaksa” yang kelima. YANG TIDAK BOLEH BERUBAH: KEBENARAN FIRMAN TUHAN DAN KETERGANTUNGAN YANG MUTLAK KEPADA PIMPINAN ROH KUDUS Zaman berganti, budaya dan filosofi hidup manusia terus berubah. Seiring dengan itu, metode khotbah pun beriring dinamis dengan konteks pendengarnya. Dinamika ini perlu disyukuri karena dengan demikian khotbah akan dapat terus menjadi wahana untuk menyampaikan amanat Allah dan mentransformasi pendengarnya. Pada era pascamodern, penyesuaian juga seharusnya terus berjalan. Meskipun mungkin ada banyak hal yang membuat kita tidak bisa sepaham dengan pandangan hidup pascamodernis, sebagai pengkhotbah, kita tidak boleh berhenti untuk berupaya mencari metode yang lebih efektif dalam mengkomunikasikan firman Tuhan. Hanya perlu digarisbawahi, hal ini bukan berarti bahwa esensi khotbah berubah-ubah. Amanat suatu khotbah harus tetap bersumber dari Alkitab sebagai firman Allah yang diinspirasikan oleh Roh-Nya. Amanat ini adalah amanat yang kuno yang pernah Allah berikan kepada umat-Nya, Israel, dan gereja pada masa Perjanjian Baru. Amanat ini bersifat kekal dan universal. Perubahan-perubahan terjadi pada metode mengkomunikasikannya, bukan pada isinya. Paulus menegaskan hal yang sama kepada anak rohaninya, Timotius, “Beritakanlah firman!” (2 Tim. 4:2). Jika kita ingin “memaksa” jemaat untuk mendengarkan khotbah kita dengan penuh perhatian, khotbahkanlah sesuatu yang mentransformasi hidup mereka. Jika itu yang menjadi tekad kita, maka jalan satu-satunya adalah kita harus mengkhotbahkan firman Tuhan (2 Tim. 3:16). Ini adalah prinsip dasar yang tidak bisa ditawar. Prinsip lainnya yang tidak kalah penting adalah ketergantungan yang mutlak seorang pengkhotbah kepada pimpinan Roh Kudus. Menyadari bahwa perubahan metode khotbah hanya merupakan upaya agar khotbah dapat tetap mempunyai pengaruh namun hasil akhirnya semata-mata adalah pekerjaan Roh Kudus membuat setiap pengkhotbah harus bergantung penuh pada pimpinan-Nya. Menerapkan metode khotbah yang tepat sesuai dengan konteks pendengarnya merupakan tindakan yang seharusnya. Namun, metode itu sendiri tetap memiliki keterbatasan, sama seperti pengkhotbah yang membawakannya juga memiliki keterbatasan. Hakikat khotbah lebih daripada sekadar metode; esensi pengkhotbah lebih dari sekadar ahli retorika. Metode adalah instrumen pengkhotbah, dan pengkhotbah adalah instrumen Roh Kudus dalam menggenapi karya-Nya. Karenanya, setiap pengkotbah harus meminta penyertaan Roh Kudus agar baik dirinya maupun metode khotbahnya diurapi dengan kuasa ilahi. Dengan begitu, barulah instrumen-instrumen yang terbatas itu mampu menyampaikan firman Tuhan yang mentransformasi pendengar. Martyn Lloyd-Jones berkata, “Bagi saya tidak ada yang lebih menakutkan bagi seorang pengkhotbah daripada berdiri di mimbar seorang diri tanpa senyum perkenan Allah.”[3] Ketakutan demikianlah yang seyogyanya ada di dalam hati setiap kita sebagai pengkhotbah. Dengan kesadaran ini, biarlah kita bergantung penuh kepada-Nya serta berdoa, “Roh Kudus, urapilah pemberitaan kami, sebab tanpa kuasa-Mu khotbah kami akan menjadi sia-sia sama seperti gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing.”

PEMULIHAN

Yesaya 1: 18 dikatakan bahwa “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” Selain itu, 1 Yohanes 1: 9 juga mencatat “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” Bagian firman Tuhan ini menujukkan bahwa ada jaminan pengampunan dosa dari Allah ketika kita datang mengaku dosa di hadapan Allah. Jaminan pengampunan dosa ini menjadi suatu hal yang pasti karena pengorbanan Kristus yang sempurna di kayu salib. Pengorbanan Kristus yang sempurna telah meredakan murka Allah atas manusia berdosa. Pengorbanan Kristus telah membuka pintu pengampunan Allah bagi manusia berdosa. Saudara, dalam perjalanan kita mengikut Tuhan, bukankah kita masih sering jatuh bangun dalam dosa? Saya tidak tahu, apa yang menjadi pergumulan kita. Mungkin ada yang bergumul dengan dosa kekuatiran, ketakutan, kecemasan, kemalasan, atau kemarahan. Mungkin ada yang bergumul dengan dosa iri hati, kesombongan atau kemurnian hati dalam pelayanan. Bahkan mungkin ada diantara kita yang bergumul dengan pikiran-pikiran negatif terhadap orang lain atau pikiran yang kotor yang muncul dalam khayalan kita. Saudara, mungkin dosa ini tidak diketahui oleh orang-orang di sekitar kita. Namun, satu hal yang pasti Tuhan tahu akan hal itu. Dosa kita adalah sesuatu yang jahat dan menjijikkan di hadapan Tuhan yang maha kudus. Dosa kita adalah suatu penghinaan kepada pribadi Tuhan! Kesadaran ini seharusnya membuat kita datang merendahkan diri di hadapan Tuhan, mengakui dosa-dosa kita dengan jujur, dan memohon pengampunan Allah. Biarlah dengan hati yang hancur dan penyesalan yang mendalam kita berkata kepada Tuhan: “Tuhan, terhadap Engkau, terhadap Engkau saja aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat. Kasihanilah aku yang berdosa ini” Ingatlah bahwa dosa selalu membawa kecemasan dan kegelisahan dalam hidup kita. Namun, pengakuan yang jujur di hadapan Allah membawa kelegaan dan kebebasan. Pengakuan dosa ini menjadi langkah awal bagi kita untuk dipulihkan oleh Allah. Setelah Daud mengakui dosanya, ia memohon pemulihan dari Alla

PENGAKUAN DOSA

Mazmur 51 ini merupakan Mazmur pengakuan dosa yang paling terkenal dari 7 Mazmur pengakuan dosa yang ada.  Mazmur ini merupakan mazmur pengakuan dosa Daud.  Daud bukan hanya telah melakukan perzinahan, tetapi juga merancang pembunuhan Uria, suami Batsyeba untuk menutupi dosanya.  Dosa Daud yang tampak wajar untuk dilakukan oleh seorang raja pada masa itu ditegur oleh Tuhan melalui nabi Natan. 
            Dalam 2 Samuel 12:1-7 kita dapat menemukan bahwa ketika nabi Natan datang kepada raja Daud, ia tidak langsung menegur Daud.  Natan menggunakan kisah orang kaya dan orang miskin.  Orang kaya ini merampas satu-satunya anak domba yang dimiliki oleh si miskin.  Kisah yang menggambarkan ketidakadilan ini membuat Daud sangat marah!  Secara spontan ia mengatakan bahwa orang kaya ini harus dihukum mati.  Orang kaya ini juga harus mengganti anak domba itu empat kali lipat!  Pada saat itulah nabi Natan mengatakan: “Engkaulah orang itu!”  Nabi Natan “membongkar” dosa Daud yang selama ini berusaha ia tutupi.  Lalu apa respons Daud?  Apakah ia berusaha membela diri?  Tidak saudara.  Daud berkata: “Aku telah berdosa kepada TUHAN.”  Kesadaran inilah yang menuntun Daud pada pengakuan dosa yang jujur di hadapan Tuhan.  Daud datang dengan jiwa yang hancur, hati yang patah dan remuk seperti yang digambarkan di ayat 19, “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” Hal ini menggambarkan suatu kondisi dukacita atau kesedihan yang mendalam karena telah berdosa serta rasa gentar seseorang yang berdosa karena ia menyadari akan kehadiran Allah yang kudus

Jumat, 23 November 2012

RAHASIA YG DISINGKAPKAN

Apakah kita dalam menjalani kehidupan ini ada di wilayah "abu-abu"? Maksudnya masih kurang / tidak jelas rencana Tuhan dalam hidup kita...Seperti yang dinyatakan pada tulisan postingan sebelumnya:"Tetapi mengapa walau sebagian orang-orang mengaku sudah menjadi anak-anak-Nya, TETAPI dalam perjalanan kehidupannya tidak mengetahui rencana Tuhan, atau tidak hidup dalam rencana Tuhan? Bahkan bukan itu saja, mereka tidak mengalami janji-janjiNya..." Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat terlebih dahulu pernyataan berikut ini: Sangat banyak orang Kristen yang mengaku percaya pada hal-hal yang mereka ketahui karena mereka diharapkan demikian, tetapi pengakuan percaya tidak sama dengan tindakan. Hanya kepercayaan sejati yang membawa kepada tindakan. Kita hidup di dalam suatu konteks di mana berjuta-berjuta orang Kristen yang mengaku percaya tidak meyakini apa yang mereka percayai karena mereka telah diajarkan bahwa yang penting adalah mengakuinya tidak peduli apakah anda mempercayainya atau tidak (Bob Bufford penulis Halftime dan Finishing Well) dan research dari group George Barna: Penelitian ini ditampilkan dalam sebuah buku baru, You Lost Me: Why Young Christians are Leaving Church and Rethinking Faith, yang terbit Oktober 2011 oleh perusahaan riset berbasis spiritual di California, Barna Group. Para peneliti menemukan bahwa 38 persen dari usia 18 sampai 25 orang Kristen secara signifikan meragukan iman mereka. Pada usia 15, 57 persen mengatakan mereka kurang aktif di gereja dan 59 persen keluar gereja. Menurut You Lost Me, satu dari lima orang Kristiani muda telah berubah dari praktek-praktek iman masa kecil mereka dan mencabut kebiasaan gereja yang berkembang saat mereka dibesarkan. Dalam sebuah wawancara dengan The Christian Post, penulis David Kinnaman mengatakan, "Setiap orang memiliki berbagai alasannya sendiri saat meninggalkan gereja. Hal ini terdiri dari perspektif yang cukup luas sehingga menciptakan pemutusan. " Temuan ini berasal dari studi selama lima tahun terhadap 1.296 anak muda yang pergi ke gereja atau mantan. Jika mereka dulunya menghadiri ibadah, mengapa mereka meninggalkan gereja di masa pasca-remaja pra-dewasa mereka? Menurut Barna Group, anak muda melihat gereja sebagai menghakimi, terlalu protektif, eksklusif dan tidak ramah terhadap mereka yang ragu-ragu. Di sini bersedia belajar hanya akan memfokuskan kepada pembahasan inti mengapa masih banyak orang-orang masih berada diwilayah "abu-abu" dalam perjalanan kehidupan kekristenan mereka terkait dengan rencana Tuhan. Pernyataan dan hasil research dari Bob Bufford dan George Barna patut menjadi perhatian kita semua. Dan ini jawabannya: mengaku percaya tidak meyakini apa yang mereka percayai, secara signifikan meragukan iman mereka Jika Anda sekarang pada saat membaca postingan ini masih ada pertanyaan di dalam hati:"Saya masih belum jelas rencana Tuhan dalam hidup saya..." Maukah Anda menyelidiki hati Anda dengan kejujuran dan kerendahan hati untuk datang kepada-Nya, dan sama berseru seperti Musa dan Daud:"Berkatalah Musa kepada-Nya: "Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini.Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku.Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari" (Kel.33:15, Maz.25:4-5). Jika kita datang kepada-Nya dengan pertobatan dan penuh keyakinan (iman), lihatlah Dia akan menyatakan diri-Nya. Jika Dia sudah melakukannya kepada Musa dan Daud, kepada saya, dan kepada banyak anak-anak-Nya yang lain, Dia pasti juga akan menyatakan diri-Nya kepada Anda, percayalah tidak ada rahasia yang tidak Ia singkapkan, termasuk rencana-Nya untuk setiap kita..

KEJAHATAN ANANK2 ELI

Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka t
idak mengindahkan TUHAN” (I Samuel 2:12).

“Samuel belum mengenal TUHAN; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya. Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi, untuk ketiga kalinya. Iapun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta katanya: "Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?" Lalu mengertilah Eli, bahwa Tuhanlah yang memanggil anak itu. Sebab itu berkatalah Eli kepada Samuel: "Pergilah tidur dan apabila Ia memanggil engkau, katakanlah: Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar." Maka pergilah Samuel dan tidurlah ia di tempat tidurnya” (I Samuel 3:7-10).

Saya hampir memberi judul khotbah ini, “Anak-Anak Geraja dan Luar Gereja.” Samuel yang masih muda adalah orang luar yang masuk ke dalam Kemah Suci. Sementara “anak-anak gereja” yang telah lama ada di dalam adalah Hofni dan Pinehas, keduanya adalah putra imam Eli. Mungkin Anda berpikir bahwa saya terlalu keras pada anak-anak gereja. Namun ingatlah, riset George Barna menunjukkan bahwa 88% dari anak-anak muda yang tumbuh di gereja meninggalkan gereja sebelum usia dua puluh lima tahun, “dan tidak pernah kembali lagi.” Sejak hanya 1 dari 10 anak-anak gereja yang bertahan setelah mereka mandiri, saya pikir ini secara sempurna tepat bila kita membandingkan dengan Samuel untuk seorang muda yang masuk ke dalam gereja dari dunia, beroleh keselamatan, dan melayani Tuhan dengan setia sampai akhir hidupnya. Jadi khotbah ini akan mengkontraskan orang dari luar gereja yang diselamatkan dengan “anak-anak gereja” yang tidak bertobat. Jika Anda adalah orang baru, yang baru masuk ke dalam gereja dari dunia ini, Anda akan mau mendengarkan khotbah ini dengan seksama. Jika Anda adalah “anak-anak gereja” yang belum diselamatkan – yang telah ada di gereja ini untuk waktu yang lama – khotbah pagi ini seharusnya memperingatkan Anda – walaupun saya pikir bahwa kebanyakan dari Anda mungkin tidak mau mendengarkannya, karena kelihatannya Anda telah menyerah bagi Allah.
Itulah apa yang terjadi pada Pinehas dan Hofni, anak-anak Eli. Ayah mereka telah menjadikan mereka para imam di Kemah Suci. Namun mereka adalah orang-orang yang belum bertobat. Alkitab berkata, “Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN” (I Samuel 2:12). Dr. McGee berkata, “Anak-anak Eli adalah ‘anak-anak Belial,” yang berarti anak-anak jahat. Mereka belum diselamatkan. Di sini mereka, para putra imam besar ini, berkeliaran di sekitar kemah suci dan lebih-lebih melayani di sana! (J. Vernon McGee, Th.D., Thru the Bible, Thomas Nelson Publishers, 1982, volume II, hlm. 127; catatan untuk I Samuel 2:12).
Jangan pernah melupakan anak-anak muda yang tumbuh di gereja namun masih perlu dipertobatkan. Anak-anak Eli tidak memiliki pengalaman persekutuan dengan Allah secara pribadi. Mereka tidak pernah dengan serius memikirkan Allah. Alkitab berkata, “Kata orang fasik itu dengan batang hidungnya ke atas: ‘Allah tidak akan menuntut! Tidak ada Allah!’, itulah seluruh pikirannya” (Mazmur 10:4) – dalam semua pikirannya tidak ada ruang untuk Allah! Itulah cara hidup dari Hofni dan Pinehas. “Mereka tidak mengenal Tuhan” – dan mereka bahkan tidak tertarik untuk mengenal Tuhan! Tidak ada ruang untuk Allah dalam pikiran mereka. Mereka tinggal di Kemah Suci. Ayah mereka mengenal Tuhan. Namun dua anak ini adalah orang-orang terhilang, orang-orang yang belum diselamatkan, “orang-orang dursila [yang] tidak mengindahkan Tuhan.” Mereka adalah manusia duniawi yang hanya berpikir tentang apa yang dapat mereka peroleh, dan mereka tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan (I Samuel 2:22). Dalam pikiran mereka tidak ada ruang untuk Allah. Ketika ayah mereka, yaitu Eli mencoba untuk memperbaiki mereka, “Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka” (I Samuel 2:25). Allah telah memberikan mereka berlimpah kesempatan untuk bertobat, namun sekarang Tuhan telah menyerah atas mereka,
“Dan karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk...” (Roma 1:28).
Anda hanya dapat seperti itu dengan terus menolak Roh Kudus. Allah berfirman, “Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia” (Kejadian 6:3). Akan datang waktunya ketika Allah akan menyerah atas Anda. Kemudian Anda tidak akan mendengar khotbah dan bertobat. “Tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka.”
Saya sedang berbicara tentang “anak-anak” gereja sekarang, anak-anak muda yang telah bertumbuh di gereja ini tanpa pernah dipertobatkan. Apa yang saya juga terapkan kepada anak-anak muda yang datang ke gereja ini, namun segera menjadi sama seperti anak-anak gereja ini. Saya melihat sebuah foto dari anak-anak muda seperti ini beberapa waktu yang lalu. Beberapa dari antara mereka tumbuh di gereja ini. Yang lain datang dari luar, namun menjadi seperti anak-anak gereja ini. Waspadalah tentang siapa yang Anda tiru! Itu tidaklah cukup datang ke gereja dengan membawa Alkitab (Scofield Bible). Anda harus menghindari anak-anak muda di gereja ini yang tidak mengindahkan Tuhan! Anda harus “keluar dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan” (II Korintus 6:17). Samuel ada di Kemah Suci bersama dengan Hofni dan Pinehas, namun ia tidak memiliki persekutuan dengan mereka. Bahkan walaupun mereka sama-sama ada di Kemah Suci, bahkan tidak ada catatan bahwa Samuel berbicara dengan mereka! Jika ia melakukannya, paling tidak ada catatan singkat tentang itu. Pisahkanlah diri Anda dari anak-anak gereja yang masih duniawi! “Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan.”
Sekarang satu kata untuk anak-anak gereja yang belum bertobat. Apakah Anda memiliki ruang untuk Allah dalam pikiran Anda? Apakah Anda berpikir tentang Allah ketika Anda sendirian? Ingatlah, ini hanya ketika Anda sendirian baru dapat diperhitungkan. Ya, Anda mungkin bicara tentang Allah ketika Anda ada di gereja. Namun apakah Anda berpikir dengan serius tentang Allah ketika Anda sendirian? Apakah Anda pernah merasa bersalah ketika Anda sendirian – mengetahui bahwa Allah telah melihat dosa-dosa Anda? Atau Anda seperti Hofni dan Pinehas, tidak pernah berpikir dengan serius tentang Allah?
Malam ini saya akan berkhotbah tentang pertobatan Adoniram Judson (1788-1850), misionaris pertama ke Burma (Klik di sini untuk membaca khotbah ini). Ayahnya adalah seorang pendeta. Ia tumbuh di gereja. Namun Allah tidak nyata baginya. Semua yang pernah ia pikirkan adalah tentang Allah ayahnya. Ia tidak memiliki kesadaran tentang Allah sendiri, sampai ia sedang sendirian di suatu malam, jauh dari rumahnya. Ia sama seperti Yakub. Sendirian di suatu malam, di luar di padang gurun, Allah tiba-tiba menjadi nyata baginya. Dan Yakub berkata, “Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya. Ia takut dan berkata: "Alangkah dahsyatnya tempat ini. Ini tidak lain dari rumah Allah, ini pintu gerbang sorga” (Kejadian 28:16-17).
Ketika saya masih berusia 15 tahun saya lari dari kuburan terbuka nenek saya, jauh ke atas pegunungan. Saya jatuh tersungkur ke tanah, terengah-engah, berkeringat dan sambil menangis. Dan Allah datang, dan saya benar-benar menyadari kehadiran-Nya yang sangat menakutkan. Saya dapat berkata seperti Yakub, “Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya. [dan aku] takut.” Saya masih belum bertobat setelah itu. Namun saya merasakan Allah Yakub. Apakah Anda pernah memikirkan tentang Allah Yakub yang agung dan mengerikan ketika Anda sedang sendirian? Apakah Anda pernah merasakan kesalahan Anda ketika Anda sedang sendirian – mengetahui bahwa Allah Yakub yang menakutkan telah melihat dosa-dosa Anda? Jika Anda tidak pernah merasakan sesuatu seperti itu tentang Allah, bagaimana Anda dapat dipertobatkan? Alkitab berkata, “Barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada” – bahwa Ia sungguh-sungguh ada! (Ibrani 11:6). Dan saya tidak sedang berbicara tentang Allah “Sekolah Minggu” yang ramah. Oh, tidak! “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan!” (Ibrani 12:29). Seperti Musa, Anda harus menjadi sadar akan “Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Dan Musa menutupi wajahnya; karena ia takut memandang Allah” (Keluaran 3:6). Hanya ketika Anda merasakan realitas Allah ketika Anda sedang sendirian, dan takut memandang Dia, Anda akan benar-benar terbangun dan menginsafi dosa Anda. Luther berkata,
Jika Anda mau dipertobatkan, Anda perlu dibuat menjadi ketakutan, yaitu, bahwa Anda memiliki hati nurani yang diperingatkan (What Luther Says, Concordia Publishing House, 1994 edition, hlm. 343; catatan untuk Mazmur 51:13).
Itulah apa yang terjadi pada Adoniram Judson muda ketika ia sedang sendirian dalam kegelapan. Pikiran-pikiran tentang kematian di tengah malam, dan mayatnya yang membusuk, dan kekekalan, telah memenuhi pikirannya dengan kengerian. Jangan singkirkan pikiran-pikiran seperti itu dari pikiran Anda. Perkuat pikiran-pikiran seperti itu. Tinggallah di dalamnya. Biarkanlah pikiran-pikiran ini menakutkan Anda, dan mengguncang Anda, memperingatkan dan menakutkan Anda. Tanpa pernah memiliki pikiran-pikiran seperti itu Anda tidak akan pernah menemukan damai dengan Allah melalui korban Darah Kristus!
Namun Hofni dan Pinehas tidak pernah merasakan keinsafan seperti itu. Mereka “adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN.” “Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka.”
Betapa berbedanya ini dengan Samuel yang masih kecil! Ia bukan “anak gereja.” Ibunya menitipkan dia untuk tinggal bersama dengan Eli di Kemah Suci. Ia adalah seorang anak yang sensitif, jauh dari rumahnya. Ketika larut malam Allah memanggil dia.
“Pada suatu hari Eli, yang matanya mulai kabur dan tidak dapat melihat dengan baik, sedang berbaring di tempat tidurnya. Lampu rumah Allah belum lagi padam. Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut Allah. Lalu TUHAN memanggil: ‘Samuel! Samuel!’, dan ia menjawab: ‘Ya, bapa’” (I Samuel 3:2-4).

KEJAHATAN ANAK2 ELI

Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka t
idak mengindahkan TUHAN” (I Samuel 2:12).

“Samuel belum mengenal TUHAN; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya. Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi, untuk ketiga kalinya. Iapun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta katanya: "Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?" Lalu mengertilah Eli, bahwa Tuhanlah yang memanggil anak itu. Sebab itu berkatalah Eli kepada Samuel: "Pergilah tidur dan apabila Ia memanggil engkau, katakanlah: Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar." Maka pergilah Samuel dan tidurlah ia di tempat tidurnya” (I Samuel 3:7-10).

Saya hampir memberi judul khotbah ini, “Anak-Anak Geraja dan Luar Gereja.” Samuel yang masih muda adalah orang luar yang masuk ke dalam Kemah Suci. Sementara “anak-anak gereja” yang telah lama ada di dalam adalah Hofni dan Pinehas, keduanya adalah putra imam Eli. Mungkin Anda berpikir bahwa saya terlalu keras pada anak-anak gereja. Namun ingatlah, riset George Barna menunjukkan bahwa 88% dari anak-anak muda yang tumbuh di gereja meninggalkan gereja sebelum usia dua puluh lima tahun, “dan tidak pernah kembali lagi.” Sejak hanya 1 dari 10 anak-anak gereja yang bertahan setelah mereka mandiri, saya pikir ini secara sempurna tepat bila kita membandingkan dengan Samuel untuk seorang muda yang masuk ke dalam gereja dari dunia, beroleh keselamatan, dan melayani Tuhan dengan setia sampai akhir hidupnya. Jadi khotbah ini akan mengkontraskan orang dari luar gereja yang diselamatkan dengan “anak-anak gereja” yang tidak bertobat. Jika Anda adalah orang baru, yang baru masuk ke dalam gereja dari dunia ini, Anda akan mau mendengarkan khotbah ini dengan seksama. Jika Anda adalah “anak-anak gereja” yang belum diselamatkan – yang telah ada di gereja ini untuk waktu yang lama – khotbah pagi ini seharusnya memperingatkan Anda – walaupun saya pikir bahwa kebanyakan dari Anda mungkin tidak mau mendengarkannya, karena kelihatannya Anda telah menyerah bagi Allah.
Itulah apa yang terjadi pada Pinehas dan Hofni, anak-anak Eli. Ayah mereka telah menjadikan mereka para imam di Kemah Suci. Namun mereka adalah orang-orang yang belum bertobat. Alkitab berkata, “Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN” (I Samuel 2:12). Dr. McGee berkata, “Anak-anak Eli adalah ‘anak-anak Belial,” yang berarti anak-anak jahat. Mereka belum diselamatkan. Di sini mereka, para putra imam besar ini, berkeliaran di sekitar kemah suci dan lebih-lebih melayani di sana! (J. Vernon McGee, Th.D., Thru the Bible, Thomas Nelson Publishers, 1982, volume II, hlm. 127; catatan untuk I Samuel 2:12).
Jangan pernah melupakan anak-anak muda yang tumbuh di gereja namun masih perlu dipertobatkan. Anak-anak Eli tidak memiliki pengalaman persekutuan dengan Allah secara pribadi. Mereka tidak pernah dengan serius memikirkan Allah. Alkitab berkata, “Kata orang fasik itu dengan batang hidungnya ke atas: ‘Allah tidak akan menuntut! Tidak ada Allah!’, itulah seluruh pikirannya” (Mazmur 10:4) – dalam semua pikirannya tidak ada ruang untuk Allah! Itulah cara hidup dari Hofni dan Pinehas. “Mereka tidak mengenal Tuhan” – dan mereka bahkan tidak tertarik untuk mengenal Tuhan! Tidak ada ruang untuk Allah dalam pikiran mereka. Mereka tinggal di Kemah Suci. Ayah mereka mengenal Tuhan. Namun dua anak ini adalah orang-orang terhilang, orang-orang yang belum diselamatkan, “orang-orang dursila [yang] tidak mengindahkan Tuhan.” Mereka adalah manusia duniawi yang hanya berpikir tentang apa yang dapat mereka peroleh, dan mereka tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan (I Samuel 2:22). Dalam pikiran mereka tidak ada ruang untuk Allah. Ketika ayah mereka, yaitu Eli mencoba untuk memperbaiki mereka, “Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka” (I Samuel 2:25). Allah telah memberikan mereka berlimpah kesempatan untuk bertobat, namun sekarang Tuhan telah menyerah atas mereka,
“Dan karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk...” (Roma 1:28).
Anda hanya dapat seperti itu dengan terus menolak Roh Kudus. Allah berfirman, “Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia” (Kejadian 6:3). Akan datang waktunya ketika Allah akan menyerah atas Anda. Kemudian Anda tidak akan mendengar khotbah dan bertobat. “Tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka.”
Saya sedang berbicara tentang “anak-anak” gereja sekarang, anak-anak muda yang telah bertumbuh di gereja ini tanpa pernah dipertobatkan. Apa yang saya juga terapkan kepada anak-anak muda yang datang ke gereja ini, namun segera menjadi sama seperti anak-anak gereja ini. Saya melihat sebuah foto dari anak-anak muda seperti ini beberapa waktu yang lalu. Beberapa dari antara mereka tumbuh di gereja ini. Yang lain datang dari luar, namun menjadi seperti anak-anak gereja ini. Waspadalah tentang siapa yang Anda tiru! Itu tidaklah cukup datang ke gereja dengan membawa Alkitab (Scofield Bible). Anda harus menghindari anak-anak muda di gereja ini yang tidak mengindahkan Tuhan! Anda harus “keluar dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan” (II Korintus 6:17). Samuel ada di Kemah Suci bersama dengan Hofni dan Pinehas, namun ia tidak memiliki persekutuan dengan mereka. Bahkan walaupun mereka sama-sama ada di Kemah Suci, bahkan tidak ada catatan bahwa Samuel berbicara dengan mereka! Jika ia melakukannya, paling tidak ada catatan singkat tentang itu. Pisahkanlah diri Anda dari anak-anak gereja yang masih duniawi! “Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan.”
Sekarang satu kata untuk anak-anak gereja yang belum bertobat. Apakah Anda memiliki ruang untuk Allah dalam pikiran Anda? Apakah Anda berpikir tentang Allah ketika Anda sendirian? Ingatlah, ini hanya ketika Anda sendirian baru dapat diperhitungkan. Ya, Anda mungkin bicara tentang Allah ketika Anda ada di gereja. Namun apakah Anda berpikir dengan serius tentang Allah ketika Anda sendirian? Apakah Anda pernah merasa bersalah ketika Anda sendirian – mengetahui bahwa Allah telah melihat dosa-dosa Anda? Atau Anda seperti Hofni dan Pinehas, tidak pernah berpikir dengan serius tentang Allah?
Malam ini saya akan berkhotbah tentang pertobatan Adoniram Judson (1788-1850), misionaris pertama ke Burma (Klik di sini untuk membaca khotbah ini). Ayahnya adalah seorang pendeta. Ia tumbuh di gereja. Namun Allah tidak nyata baginya. Semua yang pernah ia pikirkan adalah tentang Allah ayahnya. Ia tidak memiliki kesadaran tentang Allah sendiri, sampai ia sedang sendirian di suatu malam, jauh dari rumahnya. Ia sama seperti Yakub. Sendirian di suatu malam, di luar di padang gurun, Allah tiba-tiba menjadi nyata baginya. Dan Yakub berkata, “Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya. Ia takut dan berkata: "Alangkah dahsyatnya tempat ini. Ini tidak lain dari rumah Allah, ini pintu gerbang sorga” (Kejadian 28:16-17).
Ketika saya masih berusia 15 tahun saya lari dari kuburan terbuka nenek saya, jauh ke atas pegunungan. Saya jatuh tersungkur ke tanah, terengah-engah, berkeringat dan sambil menangis. Dan Allah datang, dan saya benar-benar menyadari kehadiran-Nya yang sangat menakutkan. Saya dapat berkata seperti Yakub, “Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya. [dan aku] takut.” Saya masih belum bertobat setelah itu. Namun saya merasakan Allah Yakub. Apakah Anda pernah memikirkan tentang Allah Yakub yang agung dan mengerikan ketika Anda sedang sendirian? Apakah Anda pernah merasakan kesalahan Anda ketika Anda sedang sendirian – mengetahui bahwa Allah Yakub yang menakutkan telah melihat dosa-dosa Anda? Jika Anda tidak pernah merasakan sesuatu seperti itu tentang Allah, bagaimana Anda dapat dipertobatkan? Alkitab berkata, “Barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada” – bahwa Ia sungguh-sungguh ada! (Ibrani 11:6). Dan saya tidak sedang berbicara tentang Allah “Sekolah Minggu” yang ramah. Oh, tidak! “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan!” (Ibrani 12:29). Seperti Musa, Anda harus menjadi sadar akan “Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Dan Musa menutupi wajahnya; karena ia takut memandang Allah” (Keluaran 3:6). Hanya ketika Anda merasakan realitas Allah ketika Anda sedang sendirian, dan takut memandang Dia, Anda akan benar-benar terbangun dan menginsafi dosa Anda. Luther berkata,
Jika Anda mau dipertobatkan, Anda perlu dibuat menjadi ketakutan, yaitu, bahwa Anda memiliki hati nurani yang diperingatkan (What Luther Says, Concordia Publishing House, 1994 edition, hlm. 343; catatan untuk Mazmur 51:13).
Itulah apa yang terjadi pada Adoniram Judson muda ketika ia sedang sendirian dalam kegelapan. Pikiran-pikiran tentang kematian di tengah malam, dan mayatnya yang membusuk, dan kekekalan, telah memenuhi pikirannya dengan kengerian. Jangan singkirkan pikiran-pikiran seperti itu dari pikiran Anda. Perkuat pikiran-pikiran seperti itu. Tinggallah di dalamnya. Biarkanlah pikiran-pikiran ini menakutkan Anda, dan mengguncang Anda, memperingatkan dan menakutkan Anda. Tanpa pernah memiliki pikiran-pikiran seperti itu Anda tidak akan pernah menemukan damai dengan Allah melalui korban Darah Kristus!
Namun Hofni dan Pinehas tidak pernah merasakan keinsafan seperti itu. Mereka “adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN.” “Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka.”
Betapa berbedanya ini dengan Samuel yang masih kecil! Ia bukan “anak gereja.” Ibunya menitipkan dia untuk tinggal bersama dengan Eli di Kemah Suci. Ia adalah seorang anak yang sensitif, jauh dari rumahnya. Ketika larut malam Allah memanggil dia.
“Pada suatu hari Eli, yang matanya mulai kabur dan tidak dapat melihat dengan baik, sedang berbaring di tempat tidurnya. Lampu rumah Allah belum lagi padam. Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut Allah. Lalu TUHAN memanggil: ‘Samuel! Samuel!’, dan ia menjawab: ‘Ya, bapa’” (I Samuel 3:2-4).

KESAKSIAN MISIONARIS PERTAMA AMERIKA KE BURMA

Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 18:3).

Ini akan menjadi khotbah biografi. Saya akan menyampaikan kisah pertobatan Adoniram Judson (1788-1850) kepada Anda. Pertobatannya harus menjadi hal yang sangat menarik bagi anak-anak muda yang tumbuh di gereja. Ia adalah gambaran sempurna tentang “anak-anak gereja” yang dipertobatkan setelah perjuangan yang lama.
Adoniram Judson pergi menjadi misionaris pertama, salah satu rombongan pertama dari para misionaris yang diutus keluar dari Amerika Utara. Pada 19 Pebruari 1812 Adoniram dan Ann Judson berlayar dari Cape Cod, Massachusetts menuju India. Dari sana mereka membawa Injil ke Burma (sekarang Myanmar). Keluarga Judson ini melewati penderitaan pahit, dipenjara, dan keluarganya mengalami banyak tragedi sebagai misionaris pertama di negeri penyembah berhala di mana belum pernah ada misionaris datang ke tempat itu sebelumnya. Namun Judson tidak pernah bimbang akan komitmennya untuk memenangkan para penyembah berhala ini bagi Kristus, dan menerjemahkan Alkitab untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Burma. Bagaimana Adoniram Judson menjadi seorang Kristen yang kuat seperti itu? Ketika membaca kisah hidupnya, saya menjadi diyakinkan bahwa dasar iman Kristennya terletak pada pertobatan sejati yang ia pernah alami ketika ia masih muda, sebelum ia pergi ke ladang misi. Dalam khotbah ini saya mendasarkan pada Courtney Anderson yang berjudul, To the Golden Shore: The Life of Adoniram Judson (Judson Press, 1987 edition).
Namanya adalah Adoniram Judson, Jr. Ayahnya, Adoniram Judson, Sr. adalah pendeta Kongregasional kolot. Orang yang paling ditakuti oleh Adoniram Judson muda adalah ayahnya. Nampaknya kekaguman dan hormat yang menyebabkan putranya takut kepadanya. Ia hampir tidak mampu bercanda dan tertawa. Ia seorang yang keras dan tegas seperti Tuhan sendiri. Pada kenyataannya, dalam pikiran muda Adoniram, Allah dan ayahnya hampir identik sama.
Adoniram belajar membaca pada waktu umur tiga tahun. Ini membuat ayahnya merasa bahwa anak laki-lakinya akan menjadi seorang besar, dan ayahnya mengatakan itu kepadanya lagi dan lagi. Ayahnya hanyalah seorang pendeta miskin, namun ia ingin anaknya akan menjadi jauh lebih besar dari pada dirinya – menjadi seorang pendeta di sebuah gereja besar di New England. Ia berharap agar putranya akan mencapai kesuksesan dan ketenaran yang ia tidak pernah bayangkan.
Pada masa kanak-kanaknya Adoniram membaca segala yang ia dapatkan di tangannya, dari buku-buku di perpustakaan ayahnya sampai novel-novel dan drama yang populer pada saat itu. Namun ia sangat aktif dan energik. Sebelum ia berumur sepuluh tahun ia telah menjadi seorang ahli matematika yang pandai, dan telah belajar dasar-dasar bahasa Yunani dan Latin. Ayahnya mengatakan kepadanya, “Kamu adalah anak yang sangat [cerdas], Adoniram, dan saya mengharapkan kelak kamu menjadi orang besar.” Kata-kata itu membuat kesan mendalam baginya. “Saya mengharapkan kelak kamu menjadi orang besar.”
Pada saat itu jemaat yang digembalakan oleh ayahnya mengalami perpecahan gereja yang sangat mengerikan. Akhirnya keluarga itu harus pindah ke kota lain di mana ayahnya menjadi pendeta di sebuah gereja kecil yang lain. Namun Adoniram memiliki respek yang besar kepada teladan ayahnya: yang tidak pernah kompromi.
Adoniram merasakan bahwa takdirnya adalah menjadi seorang ahli pidato, seorang penyair, atau seorang negarawan seperti John Adams – sesuatu yang dihubungkan dengan buku-buku dan pembelajaran, sesuatu yang akan membuat dia dipuji dan tenar, dan membuat namanya dikenal sepanjang masa.
Ia selalu ingin menjadi orang yang benar-benar saleh. Namun bagaimana ia dapat menjadi seorang Kristen sejati dan menjadi orang besar pada saat yang sama? Ketika ia terbaring sakit, ia seperti mendengar suara yang berkata di dalam pikirannya, “Bukan bagi kita, bukan bagi kita, namun bagi nama-Nyalah kemuliaan itu.” Itu mungkin saja menjadi seorang pendeta pedesaan yang tidak dikenal yang ketenarannya berkumandang sampai kepada kekekalan, bahkan walaupun ia tidak mendengarkan di sini. Dunia salah tentang para pahlawannya. Dunia salah dalam penilaiannya. Ketenaran dari seorang pendeta pedesaan yang tidak dikenal sesungguhnya lebih luar biasa – begitu banyak yang lebih besar sehingga pencapaian duniawi lainnya menjadi menyusut menjadi hal yang tidak penting. Ini adalah satu-satunya ketenaran yang menang atas kubur. “Bukan bagi kita, bukan bagi kita, namun bagi nama-Nyalah kemuliaan itu” terus berdengung di telinganya. Ia duduk dalam posisi tegak di ranjang sakitnya, dikejutkan oleh pikiran-pikiran aneh ini.
Bagaimanapun, ia segera berusaha mengusirnya dari pikirannya. Namun untuk waktu yang singkat ingatan itu begitu kuat sehingga ia akan mengingatnya sampai akhir hidupnya.
Sebelum pada usia enam belas tahun Adoniram telah masuk perguruan tinggi. Meskipun ayah Adoniram adalah tamatan Yale, namun ia tidak mengirim putranya ke sana, mungkin karena terlalu jauh dari rumahnya. Walaupun Harvard hanyalah lima puluh mil jauhnya, ia tidak mengirim putranya ke sana karena sekolah itu telah menjadi liberal. Sebaliknya Pdt. Judson mengirim putranya ke Rhode Island College di Providence. Tidak lama setelah Adoniram masuk, perguruan tinggi itu berubah nama menjadi “Brown University.” Pdt. Judson tahu bahwa sekolah itu adalah sekolah yang mengajarkan kebenaran, mengajarkan Alkitab. Pdt. Judson merasa bahwa Adoniram akan aman di perguruan tinggi ini.
Karena Adoniram telah mengenal bahasa Latin, Yunani, matematika, astronomi, logika, pidato dan filsafat moral ia masuk sekolah seperti sebagai mahasiswa tahun kedua dari pada mahasiswa tahun pertama. Para profesornya segera menyadari itu. Di akhir kuliah tahun pertama rektor perguruan tinggi tersebut mengirim surat kepada ayahnya, menyebut Adoniram “putra yang sangat baik dan menjanjikan.” Hati Pdt. Judson begitu bangga ketika membaca surat itu.
Para mahasiswa di perguruan tinggi tersebut segera menyadari bahwa, walaupun ia adalah seorang anak pendeta, Adoniram telah memiliki ketertarikan yang sangat kecil dalam menghadiri kebaktian doa yang diadakan dua kali seminggu. Sebaliknya ia menjadi sangat popular dengan anak-anak muda yang belum bertobat di sekolah itu.
Adoniram segera berteman dengan seseorang yang bernama Jacob Eames, yang berusia satu tahun lebih tua darinya. Eames sangat berbakat, pintar dan sangat populer – namun ia adalah seorang Deist (orang yang percaya bahwa dengan pengetahuan, akal dan pikiran, seseorang dapat menentukan Tuhan itu nyata), bukan seorang Kristen. Ia dan Adoniram menjadi sahabat dekat, dan Adoniram sangat dipengaruhi oleh dia sehingga ia segera menjadi seperti orang yang tidak percaya Tuhan seperti Jacob Eames. Jika ayah Adoniram mengetahui bahwa ia telah menjadi Deist, ia pasti segera akan membawa dia keluar dari universitas tersebut. Pdt. Judson menentang liberalism, Uniatarianisme, dan Universalisme, namun ia merasa bahwa Deisme adalah yang terburuk dari semua itu. Kaum Deist menolak Alkitab sepenuhnya. Kaum Deist hanya percaya bahwa ada Allah yang tidak terlibat dengan umat manusia sama sekali. Mereka menolak Kristus sebagai Anak Allah, tidak percaya tentang Sorga atau Neraka, atau Darah penebusan Kristus. Namun Pdt. Judson tidak tahu bahwa sahabat Adoniram, Jacob Eames telah memimpin putranya ke dalam kesesatan dan ketidakpercayaan seperti itu.
Jacob Eames adalah pemimpin kelompok anak-anak muda dimana Adoniram bergabung. Pemuda-pemuda ini belajar bersama, menghadiri peseta bersama, ngobrol bersama, dan bermain bersama. Orang-orang muda ini tidak tertarik pada Kekristenan. Mereka berbicara tentang bagaimana menjadi para penulis tersohor, dramawan, dan para aktor.Mereka mau menjadi para pengikut Shakespeare dan Godsmiths dari Dunia Baru di Amerika. Seluruh agama yang ayah Adoniram ajarkan dengan begitu hati-hati kepada putranya lenyap sepenuhnya. Jacob Eames telah “membebaskan” Adoniram dari kepercayaan lama ayahnya, dan telah membebaskan dia untuk mencari ketenaran dan kekayaan.
Namun Adoniram memiliki perasaan bersalah yang membuat dia gelisah. Menolak Allah ayahnya adalah sama dengan menolak ayahnya, yang masih ia sangat hormati di dalam hatinya. Ia sungguih takut akan penolakan ayahnya, sehingga ia tidak pernah menyampaikan ketidakpercayaannya ketika ia pulang liburan semester.
Adoniram menjadi juara satu di kelasnya. Ia dipilih menjadi wakil wisudawan, dan menyampaikan pidatonya di acara wisudanya. Segera setelah ia tahu bahwa ia telah memenangkan kehormatan ini ia lari ke kamarnya dan menulis, “Ayah yang tersayang, saya telah memperolehnya. Putra kesayanganmu, A.J.” Di akhir wisuda itu, pada posisi yang paling terhormat. Adoniram memberikan pidatonya, dengan menyampaikan betapa ia sangat bangga kepada ayah dan ibunya di hadapan para hadirin.
Jadi, di usia sembilan belas tahun, Adoniram telah memulai pekerjaan hidupnya. Namun ia tidak memiliki ide untuk menjadi apa! Ia pulang ke rumahnya dan pergi ke gereja bersama dengan ayah dan ibunya setiap Minggu. Kedua orangtuanya tidak tahu bahwa ia sekarang telah menjadi orang tidak percaya. Ia merasa seperti seorang munafik setiap kali ia bersama ayah dan ibunya dalam doa bersama keluarganya.
Setiap minggu ia semakin resah. Ia menyimpan pikiran tentang ambisi-ambisi yang ia telah ia bicarakan dengan Jacob Eames. Pada musim panas itu ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi ke New York. Ia akan menjumpai orang-orang yang bekerja dengan theater. Ia akan belajar menulis drama sebagai langkah awalnya. Ia tahu bahwa ayah dan ibunya telah berpikir bahwa New York adalah kota yang paling penuh dosa di Amerika, sebuah Sodom modern. Ia tahu bahwa mereka berpikir theater adalah lubang neraka dari kebobrokan dan dosa. Namun ia berpikir bahwa orangtuanya terlalu berpikiran sempit.
Segera ia mempersiapkan diri untuk pergi ke New York. Kedua orangtuanya bereaksi seperti seakan ia sedang pamit kepada mereka bahwa ia akan melakukan perjalanan ke bulan! Mereka tidak menyadari bahwa ia telah bertujuan untuk bebas dari aturan mereka, bertindak dan berpikir untuk dirinya sendiri sebagai seorang dewasa. Pada titik ini ayahnya meminta dia untuk belajar menjadi seorang pendeta. Ketika Adoniram mendengar itu, ia berusaha mengatakan suatu kebenaran kepada orangtuanya. Bahwa Allah mereka bukan Allahnya. Bahwa ia tidak percaya lagi Alkitab. Bahwa ia tidak percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah.
Ayahnya mencoba untuk berargumentasi dengannya, namun gagal. Ibunya menangis dan meratap sambil ia mengikuti dia dari kamar ke kamar. “Bagaimana kamu dapat melakukan ini kepada ibumu?” ia berteriak. Adoniram yang sangat disayanginya telah memilih Iblis dan menolak Allah. Ia dapat mendengar tangisan dan doa ibunya untuk dia kapanpun ia pulang ke rumah.
Adoniram menerima itu tanpa mengeluh selama enam hari. Kemudian ia mengambil kudanya dan menungganginya menuju New York. Namun ketika ia sampai di sana ia menemukan bahwa kota itu bukan sorga seperti yang ia mimpikan. Tidak ada yang menyambutnya dan tidak ada pekerjaan. Ia hanya tinggal beberapa minggu sebelum pergi dalam penolakan dan sakit hatinya.
Ketika matahari mulai tenggelam ia sampai di sebuah desa kecil. Ia menemukan sebuah penginapan, mengikat kudanya di kandang, dan memesan kamar kepada pemilik penginapan. Penginapan itu hampir penuh. Hanya ada satu kamar yang tersisa. Seorang tuan tanah itu menjelaskan kepadanya bahwa kamar di sebelahnya ada anak muda yang sakit keras, mungkin sedang sekarat. Ia pasti akan terganggu malam itu. “Tidak,” kata Adoniram, ia tidak akan membiarkan sedikit keributan di sebelah kamarnya menghentikan dia untuk menikmati istirahat yang tenang malam itu. Setelah memberi dia sesuatu untuk dimakan, sang tuan tanah itu membawa Adoniram ke kamarnya dan meninggalkan dia di sana. Adoniram pergi tidur, dan berharap bisa tidur.
Namun ia tidak dapat tidur. Ia dapat mendengar suara pelan yang berasal dari kamar di depannya, kadang kedengaran dan kadang tidak, seperti ada suara papan yang berkeretak, suara-suara pelan, namun kadang raungan dan hembusan nafas. Suara-suara ini tidak terlalu mengganggunya – tidak mengganggu karena ia berpikir orang itu mungkin sekarat. Kematian adalah hal yang umum bagi New England-nya Adoniram. Itu memang harus terjadi kepada setiap orang, berapapun umurnya.
Apa yang mengganggunya adalah pikiran bahwa orang itu ada di dalam kamar di samping kamarnya yang tidak siap untuk mati. Apakah ia, dirinya sendiri, siap untuk itu? Pikiran-pikiran ini melewati pikirannya ketika ia berbaring setengah mimpi dan setengah sadar di sana. Ia ingin tahu bagaimana ia sendiri akan menghadapi kematian. Ayahnya akan menganggap kematian seperti pintu terbuka menuju kemuliaan kekal. Namun bagi Adoniram, pemuda tidak percaya Tuhan ini, kematian adalah pintu menuju jurang kehampaan, menuju kegelapan, kebinasaan, lebih buruk lagi – apa? Tubuhnya akan hancur seperti ketika ia berpikir tentang kubur, tubuhnya yang mati membusuk, ditimbun di dalam tanah dalam peti mati. Apakah semua ini, melalui abad-abad tiada akhir?
Namun bagian lain dari dia mentertawakan pikiran-pikiran tengah malam ini. Apa yang akan teman-temanya di perguruan tinggi pikirkan tentang teror-teror malam itu? Di atas semua, apa yang akan sahabat baiknya Jacob Eames pikirkan? Ia membayangkan Eames mentertawakan dia, dan ia merasa malu.
Ketika ia bangun matahari sudah terbit menerobos jendelanya. Ketakutannya telah sirna bersama dengan kegelapan itu. Ia dapat sulit mempercayai mengapa ia menjadi begitu lemah dan takut pada malam itu. Ia berpakaian dan turun untuk sarapan. Ia menemui pemilik penginapan dan membayar tagihannya. Kemudian ia bertanya apakah anak muda di sebelah kamarnya itu sudah lebih baik. Orang itu menjawab, “Ia telah meninggal dunia.” Kemudian Adoniram bertanya, “Apakah Anda tahu siapakah dia itu?” Pemilik penginapan itu menjawab, “Oh. Iya. Ia adalah anak muda dari Brown University, namanya adalah Eames, Jacob Eames.” Itu berarti sahabat baiknya, Jacob Eames yang tidak percaya Tuhan, yang telah mati di sebelah kamarnya malam itu.
Adoniram tidak pernah dapat mengingat bagaimana ia melalui beberapa jam berikutnya. Semua yang ia ingat adalah bahwa ia tidak meninggalkan penginapan itu untuk beberapa jam. Akhirnya ia pergi, menunggang kudanya dalam kebingungan. Satu kata terus merasuki pikirannya – “terhilang!” Dalam kematian, sahabatnya Jacob Eames masih terhilang – sepenuhnya terhilang. Terhilang dalam kematian. Kehilangan sahabat-sahabatnya, kehilangan dunia, kehilangan masa depan. Jika pandangan-pandangan Eames sendiri benar, bukankah kehidupan dan kematiannya tidak memiliki arti.
Namun bagaimana jika Eames salah? Bagaimana jika Alkitab secara literal benar dan pribadi Allah itu nyata? Kemudian Jacob Eames terhilang untuk selama-lamanya. Dan setelah itu, pada saat itu, Eames tahu bahwa ia salah. Namun sekarang sudah sangat terlambat bagi Eames bertobat. Ketika mengetahui kesalahannya, Eames telah terlanjur mengalami siksaan api neraka yang tak terlukiskan. Semua kesempatan untuk diselamatkan telah hilang, terhilang untuk selama-lamanya. Pikiran-pikiran ini mengguncangkan pikiran Adoniram. Adoniram berpikir bahwa sahabat baiknya mati di sebelah kamarnya tidak mungkin suatu kebetulan belaka. Adoniram berpikir bahwa Allah ayahnya telah merancang peristiwa-peristiwa ini melalui ketetapan, itu sama sekali bukanlah suatu kebetulan.
Tiba-tiba Adoniram merasa bahwa Allah dari Alkitab adalah Allah yang riil. Ia memutar kudanya dan menuju rumahnya. Perjalanan menuju rumahnya memerlukan waktu lima minggu, namun selama lima minggu itu apa yang ia telah mulai untuk membebaskan diri dari kendali orangtuanya telah berbalik menguncang jiwanya dengan begitu hebatnya. Selanjutnya hatinya begitu kacau, dalam ketakutan akan kematian jiwanya. Ia pulang ke rumahnya sebagai orang berdosa yang telah dibangunkan.
Pada saat itu dua pendeta datang ke rumah ayahnya. Mereka mengusulkan agar Adoniram mendaftarkan diri ke seminari yang baru saja dibuka. Ia masuk ke Andover Theological Seminary pada bulan Oktober. Ia belum bertobat pada waktu itu, sehingga ia mendaftar sebagai mahasiswa khusus, bukan sebagai calon hamba Tuhan. Sebagai seorang mahasiswa di sana ia mulai membaca Alkitab dalam bahasa asli, yaitu bahasa Ibrani dan Yunani. Sebelum November keraguannya mulai pergi, dan ia dapat menulis bahwa ia “mulai menemukan harapan untuk menerima pengaruh Roh Kudus yang melahirbarukan.” Pada hari kedua di bulan Desember – suatu hari yang ia tidak pernah lupakan – ia bertobat dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah. Sejak saat itu ia benar-benar menjadi manusia baru. Ia berbalik dari mimpi-mimpi kesuksesan duniawinya untuk selama-lamanya dan bertanya kepada dirinya sendiri, “Bagaimana saya dapat menjadi paling berkenan di hadapan Allah?”
Ini adalah suatu pertobatan penting yang sangat luar biasa, karena itu memimpin Adoniram menjadi misionaris ke negeri asing pertama, yaitu ke Burma. Setibanya di ladang misi, Adoniram Judson menjadi seorang Baptis, melalui studi kata Yunani “baptizo.” Ia mau pergi ke Burma pada saat ketika tidak ada misionaris yang pernah datang ke negeri penyembah berhala itu. Walaupun penderitaan yang begitu pahit, dipenjarakan dan berbagai tragedi menimpa keluarganya, termasuk kematian dari istri pertama dan kemudian istri keduanya dan beberapa anaknya, Adoniram Judson tidak pernah bimbang dalam memenuhi komitmennya untuk memenangkan jiwa bagi Kristus, dan menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Burma. Betapa kami berdoa agar beberapa anak muda di gereja kita ini akan mengalami pertobatan sejati, seperti Adoniram Judson, dan pergi melayani Kristus selama hidupnya. Dr. John R. Rice (1895-1980) menulis sebuah lagu yang dengan sempurna menggambarkan pertobatan Adoniram.
Aku hidup menuruti kesenanganku, Aku bekerja keras untuk harta dunia,
   Namun dama damai yang melampaui segalanya, hanya ku temukan dalam Yesus….

Kesombongan akan kebaikanku menggagalkanku, Tiada obat untuk dosa yang menyakitiku
   Roh Allah kemudian menginsafkanku, Tuk meninggalkan dosa-dosa ku ke atas Yesus.

Firman Allah telah lama ku tolak, Roh-Nya memanggil, memintaku dengan tegas
   Bertobatlah, Oleh Yesus, Yesus yang berharga
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
   Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.

Oh Kristus, karena kasih yang tiada henti, Karena berkat yang terus meningkat
   Karena semua ketakutanku sirna, Aku memuji dan mengasihi Yesusku.
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
   Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.
        (“Jesus, Only Jesus” by Dr. John R. Rice, 1895-1980).