Senin, 29 Oktober 2012
DIA DEKAT....
Baca: Kisah Para Rasul 17:22-31
Sesungguhnya Tuhan ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya. —Kejadian 28:16
Sebuah lagu populer bertahun-tahun lalu yang berjudul From a Distance (Dari Jauh) menggambarkan suatu dunia yang harmonis dan damai. Liriknya mengatakan, “Allah mengawasi kita dari jauh.” Memang benar Allah mengawasi kita, tetapi bukan dari jauh. Dia hadir, dalam ruangan bersama Anda, tepat di hadapan Anda, menatap Anda dengan kasih yang tak terbatas dalam mata-Nya.
Saya terpikir tentang teladan dari biarawan Lawrence, yang selama bertahun-tahun bekerja di dapur untuk mencuci mangkok dan panci, dan memperbaiki sandal milik para biarawan lain. Ia menulis: “Sesering yang saya mampu, saya menempatkan diri sebagai penyembah di hadapan-Nya, mengarahkan pikiran saya pada kehadiran-Nya yang kudus.”
Itu menjadi tugas kita juga. Namun kita lupa dan terkadang perlu pengingat tentang kehadiran-Nya. Saya telah menancapkan sebatang paku tua pada rak di atas meja saya untuk mengingatkan saya bahwa Yesus yang telah disalibkan dan dibangkitkan itu senantiasa hadir. Tugas kita adalah mengingat untuk “senantiasa memandang kepada Tuhan” (Mzm. 16:8)—untuk menyadari bahwa Dia menyertai kita sampai kepada “akhir zaman” (Mat. 28:20) dan bahwa Dia “tidak jauh dari kita masing-masing” (Kis. 17:27).
Tindakan mengingat ini mungkin sesederhana menyegarkan kembali ingatan kita bahwa Tuhan telah berjanji untuk menyertai Anda di sepanjang hari dan berkata kepada-Nya, “Selamat Pagi,” atau “Terima Kasih,” atau “Tolong!” atau “Aku mengasihi-Mu, Tuhan.”
Begitu dekat, sangat dekat dengan Allah—
Aku tak bisa lebih dekat lagi:
Namun melalui pribadi Putra-Nya,
Aku dekat, sedekat Putra-Nya itu.
Allah itu jauh lebih dekat daripada sahabat kita yang terdekat sekalipun.
TITANIC 2
Baca: Yeremia 17:5-10
Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan! —Yeremia 17:5
Mark Wilkinson membeli sebuah kapal yang panjangnya 4,8 meter untuk aktivitas memancing dan rekreasi. Tampaknya ia bukan orang yang percaya takhayul, karena ia menamai kapalnya Titanic II, sama seperti nama kapal mewah malang yang menabrak gunung es dan tenggelam pada tahun 1912. Awalnya pelayaran perdana Titanic II dari pelabuhan di Dorset, Inggris, berjalan lancar. Namun ketika Wilkinson menempuh perjalanan pulang, kapalnya mulai kemasukan air. Tak lama kemudian ia ditemukan sedang berpegang erat pada sebuah tiang sambil menanti pertolongan. Konon Wilkinson berkata, “Betapa memalukannya, dan saya agak kesal dengan orang yang bertanya apakah saya telah menabrak gunung es.” Masih ditambah cerita dari seorang saksi mata yang mengatakan, “Itu bukan kapal yang sangat besar—kupikir sebutir es batu pun bisa menenggelamkannya!”
Kisah Titanic II ini cukup ironis. Namun ini juga membuat saya berpikir tentang Titanic yang asli dan bahaya dari keyakinan yang salah tempat. Para pembuat kapal lintas lautan itu merasa sangat yakin jika kapal yang mereka bangun tidak dapat tenggelam. Namun betapa salahnya keyakinan mereka! Yeremia mengingatkan kita: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan!” (Yer. 17:5).
Kita semua tergoda untuk mencari rasa aman kita pada sesama manusia atau materi. Betapa seringnya kita perlu diingatkan kembali untuk mengabaikan keyakinan yang salah tersebut dan datang kembali kepada Allah. Apakah Anda mengandalkan sesuatu yang lain selain Allah?
Saat kami mengandalkan-Mu, Tuhan,
Kami akan seperti pohon yang tumbuh
Di tepi air yang mengalir,
Menghasilkan buah dan berdiri teguh.
Orang yang mengandalkan Allah tidak akan pernah dikecewakan.
IRI HATI....
Baca: 1 Korintus 3:1-10
Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi? —1 Korintus 3:3
Ada suatu kisah yang menceritakan tentang dua orang pemilik toko yang saling bersaing. Mereka menghabiskan waktu hari demi hari dengan saling melacak usaha masing-masing. Jika yang satu mendapat pelanggan, ia akan tersenyum penuh kemenangan dengan maksud menyindir saingannya.
Suatu malam seorang malaikat muncul di dalam mimpi salah satu dari mereka dan berkata, “Aku akan memberikan apa saja yang kau minta. Namun, apa saja yang kau terima, sainganmu itu akan menerimanya dua kali lipat. Apa keinginanmu?” Pria itu mengerutkan keningnya, lalu berkata, “Buatlah mataku buta sebelah.” Sungguh ini suatu bentuk iri hati yang paling buruk!
Perasaan iri hati yang merusak diri sendiri berpotensi besar memecah belah jemaat di Korintus. Jemaat ini telah menerima Injil tetapi mereka tidak memberi kesempatan kepada Roh Kudus untuk mengubah hati mereka. Akibatnya, mereka saling iri hati, dan ini menyebabkan terpecahnya kebersamaan mereka. Paulus melihat iri hati mereka sebagai tanda ketidakdewasaan dan keduniawian (1 Kor. 3:3). Jemaat di Korintus tidak bersikap layaknya orang-orang yang hidupnya telah diubah oleh Injil.
Salah satu indikator yang paling jelas bahwa Roh Kudus sedang bekerja dalam hidup kita adalah ketika kita merasa puas dan bersyukur atas apa yang kita miliki. Dengan demikian, daripada diliputi oleh rasa iri hati, kita dapat dengan tulus menghargai karunia dan berkat yang diterima orang lain.
Allah, Engkau begitu baik! Engkau telah menyediakan seluruh
kebutuhan kami, bahkan yang lebih dari itu. Tolong kami untuk
merasa puas dengan apa yang kami miliki, dengan menyadari bahwa
tanpa-Mu kami tak memiliki baik napas maupun hidup ini sendiri.
Iri hati dapat diobati dengan sikap mengucap syukur kepada Allah.
PERTOLONGAN DATANG DARI TUHAN
Pagi ini, aku bangun dengan perasaan gelisah dan tak bersemangat. Benar-benar kacau. Yang kupikirkan cuma ketidakmampuanku. Aku tidak tahu bagaimana caranya memberitakan Injil dengan mulut bibirku. Aku tidak pandai menggambar, tidak bisa baca not balok. Aku hanya bisa main drum. Tetapi, siapa sih yang main drum sendirian? Siapa yang mau mendengar musik yang isinya cuma dentuman drum? Tidak ada yang menciptakan musik yang dimainkan oleh drum saja. Lagipula, aku diberitahu kalau karya tulisku tidak memenuhi standar yang diharapkan—padahal aku selalu merasa aku sudah menulis dengan baik. Aku merasa begitu tidak berguna.
Namun aku tahu, di dalam setiap situasi kita dihadapkan pada dua pilihan. Kita bisa memilih untuk melawan Allah dengan jalan mempertanyakan kehendak-Nya dalam keadaan itu, atau sebaliknya, kita bisa percaya bahwa Dia tahu apa yang terbaik untuk kita dan akan memakai keadaan itu untuk membentuk kita semakin serupa dengan-Nya. Sebagian orang menjadi semakin dekat dengan Allah melalui ujian yang dihadapi mereka, dan aku salah satunya. Ketika aku menyadari bahwa aku tidak bisa mengandalkan kekuatanku sebagai manusia, pada saat itulah aku sadar aku harus mengandalkan kekuatan Allah.
Setelah itu aku naik ke kereta untuk berangkat kerja. Saking penuhnya kereta itu, rasanya aku sedang ada dalam sebuah kaleng. Perasaanku tidak membaik saat aku di tempat kerja. Aku merasa seperti sebuah robot yang diprogram cuma untuk menghasilkan apa saja yang diharapkan dari diriku. Tidak ada yang peduli apa yang terjadi padaku atau apa yang sedang kupikirkan. Atasanku hanya mau aku melakukan apa yang mereka perintahkan.
Pergumulan ini bukanlah yang pertama. Kegalauan diam-diam menyelinap di hari yang buruk seperti hari ini dan menguasaiku pada saat aku sedang terpuruk. Aku mau dikenal atas apa yang bisa kuberikan, bukan atas apa yang tidak mampu kulakukan. Aku mau meyakini kalau aku ini benar-benar hidup, dan hidupku berarti buat seseorang. Aku mau dicintai, didengarkan dan dianggap sebagai orang yang mampu memberi pengaruh. Aku mau meyakini kalau ada orang yang peduli padaku, dan aku pun berarti buat seseorang. Aku mau meyakini kalau aku benar-benar bisa memberi dampak positif walaupun aku penuh kegagalan dan kelemahan. Aku mau meyakini kalau Allah mau memakai diriku.
Menurut standar dunia ini, jika kita gagal mengerjakan sesuatu, terutama gagal dalam bidang yang kita gemari, maka kita ini pecundang. Tetapi aku tahu lebih dari itu. Hidup bagi kita berarti membangun hubungan kita dengan Allah yang mengasihi kita. Kasih-Nya itu tidak tergantung pada apa yang bisa atau tidak bisa kita lakukan. Yang terindah dari semuanya, kasih Allah itu tidak pernah berubah.
Grup musik Casting Crowns menulis sebuah lagu berjudul “Praise You in This Storm” yang diilhami dari Mazmur 121:1-2, “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.” Benar, di tengah kegalauan hati, aku masih bisa memuji Allah karena Dialah pertolonganku. Dalam kasih-Nya yang tak berkesudahan, aku mendapat kekuatan baru untuk menghadapi hari demi hari.
MEMBERI PENGARUH....
Baca: Matius 9:27-38
Tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka. —Matius 9:36
Kisah Elizabeth sangatlah menyentuh. Setelah mengalami suatu peristiwa yang sangat memalukan dirinya di Massachusetts, Elizabeth naik bus ke New Jersey untuk menyembunyikan rasa malunya. Karena terisak-isak tanpa terkendali, ia tidak memperhatikan bahwa bus itu telah berhenti di suatu tempat. Ada seorang penumpang pria yang sama sekali tak dikenal Elizabeth telah duduk di belakangnya sepanjang perjalanan. Ketika pria itu akan turun dari bus, tiba-tiba ia berhenti, berbalik, dan berjalan mendekati Elizabeth. Ia melihat air mata Elizabeth lalu memberikan Alkitabnya seraya berkata bahwa mungkin Elizabeth membutuhkan Alkitab itu. Pria itu benar. Elizabeth tidak hanya membutuhkan Alkitab, ia juga memerlukan Kristus yang disebutkan di dalam Alkitab. Sebagai dampak dari tindakan belas kasihan yang sederhana dari seorang asing yang murah hati itu, Elizabeth menerima Kristus sebagai Juruselamatnya.
Yesus adalah teladan kita dalam hal berbelaskasihan. Di Matius 9, kita membaca, “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (ay.36). Tuhan kita tidak hanya memperhatikan derita dan rasa sakit dari orang yang hancur hati, Dia juga menanggapinya dengan menantang pengikut-Nya untuk berdoa kepada Bapa supaya mengirim pekerja untuk menolong mereka yang menderita dan menjawab kebutuhan dunia yang sekarat ini (ay.38).
Dengan Kristus sebagai teladan, kita dapat memiliki hati yang berbelaskasihan bagi orang-orang yang tak bergembala dan terdorong untuk memberikan pengaruh dalam hidup sesama.
Bapa, buka mataku untuk melihat penderitaan dan pergumulan
orang lain. Lalu buka hatiku untuk menanggapi mereka
sehingga melalui diriku mereka bisa melihat
Engkau dan kasih-Mu. Amin.
Dunia yang putus asa membutuhkan orang-orang Kristen yang peduli.
Langganan:
Postingan (Atom)