Ini akan menjadi khotbah biografi. Saya akan menyampaikan kisah pertobatan Adoniram Judson (1788-1850) kepada Anda. Pertobatannya harus menjadi hal yang sangat menarik bagi anak-anak muda yang tumbuh di gereja. Ia adalah gambaran sempurna tentang “anak-anak gereja” yang dipertobatkan setelah perjuangan yang lama.
Adoniram Judson pergi menjadi misionaris pertama, salah satu rombongan pertama dari para misionaris yang diutus keluar dari Amerika Utara. Pada 19 Pebruari 1812 Adoniram dan Ann Judson berlayar dari Cape Cod, Massachusetts menuju India. Dari sana mereka membawa Injil ke Burma (sekarang Myanmar). Keluarga Judson ini melewati penderitaan pahit, dipenjara, dan keluarganya mengalami banyak tragedi sebagai misionaris pertama di negeri penyembah berhala di mana belum pernah ada misionaris datang ke tempat itu sebelumnya. Namun Judson tidak pernah bimbang akan komitmennya untuk memenangkan para penyembah berhala ini bagi Kristus, dan menerjemahkan Alkitab untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Burma. Bagaimana Adoniram Judson menjadi seorang Kristen yang kuat seperti itu? Ketika membaca kisah hidupnya, saya menjadi diyakinkan bahwa dasar iman Kristennya terletak pada pertobatan sejati yang ia pernah alami ketika ia masih muda, sebelum ia pergi ke ladang misi. Dalam khotbah ini saya mendasarkan pada Courtney Anderson yang berjudul, To the Golden Shore: The Life of Adoniram Judson (Judson Press, 1987 edition).
Namanya adalah Adoniram Judson, Jr. Ayahnya, Adoniram Judson, Sr. adalah pendeta Kongregasional kolot. Orang yang paling ditakuti oleh Adoniram Judson muda adalah ayahnya. Nampaknya kekaguman dan hormat yang menyebabkan putranya takut kepadanya. Ia hampir tidak mampu bercanda dan tertawa. Ia seorang yang keras dan tegas seperti Tuhan sendiri. Pada kenyataannya, dalam pikiran muda Adoniram, Allah dan ayahnya hampir identik sama.
Adoniram belajar membaca pada waktu umur tiga tahun. Ini membuat ayahnya merasa bahwa anak laki-lakinya akan menjadi seorang besar, dan ayahnya mengatakan itu kepadanya lagi dan lagi. Ayahnya hanyalah seorang pendeta miskin, namun ia ingin anaknya akan menjadi jauh lebih besar dari pada dirinya – menjadi seorang pendeta di sebuah gereja besar di New England. Ia berharap agar putranya akan mencapai kesuksesan dan ketenaran yang ia tidak pernah bayangkan.
Pada masa kanak-kanaknya Adoniram membaca segala yang ia dapatkan di tangannya, dari buku-buku di perpustakaan ayahnya sampai novel-novel dan drama yang populer pada saat itu. Namun ia sangat aktif dan energik. Sebelum ia berumur sepuluh tahun ia telah menjadi seorang ahli matematika yang pandai, dan telah belajar dasar-dasar bahasa Yunani dan Latin. Ayahnya mengatakan kepadanya, “Kamu adalah anak yang sangat [cerdas], Adoniram, dan saya mengharapkan kelak kamu menjadi orang besar.” Kata-kata itu membuat kesan mendalam baginya. “Saya mengharapkan kelak kamu menjadi orang besar.”
Pada saat itu jemaat yang digembalakan oleh ayahnya mengalami perpecahan gereja yang sangat mengerikan. Akhirnya keluarga itu harus pindah ke kota lain di mana ayahnya menjadi pendeta di sebuah gereja kecil yang lain. Namun Adoniram memiliki respek yang besar kepada teladan ayahnya: yang tidak pernah kompromi.
Adoniram merasakan bahwa takdirnya adalah menjadi seorang ahli pidato, seorang penyair, atau seorang negarawan seperti John Adams – sesuatu yang dihubungkan dengan buku-buku dan pembelajaran, sesuatu yang akan membuat dia dipuji dan tenar, dan membuat namanya dikenal sepanjang masa.
Ia selalu ingin menjadi orang yang benar-benar saleh. Namun bagaimana ia dapat menjadi seorang Kristen sejati dan menjadi orang besar pada saat yang sama? Ketika ia terbaring sakit, ia seperti mendengar suara yang berkata di dalam pikirannya, “Bukan bagi kita, bukan bagi kita, namun bagi nama-Nyalah kemuliaan itu.” Itu mungkin saja menjadi seorang pendeta pedesaan yang tidak dikenal yang ketenarannya berkumandang sampai kepada kekekalan, bahkan walaupun ia tidak mendengarkan di sini. Dunia salah tentang para pahlawannya. Dunia salah dalam penilaiannya. Ketenaran dari seorang pendeta pedesaan yang tidak dikenal sesungguhnya lebih luar biasa – begitu banyak yang lebih besar sehingga pencapaian duniawi lainnya menjadi menyusut menjadi hal yang tidak penting. Ini adalah satu-satunya ketenaran yang menang atas kubur. “Bukan bagi kita, bukan bagi kita, namun bagi nama-Nyalah kemuliaan itu” terus berdengung di telinganya. Ia duduk dalam posisi tegak di ranjang sakitnya, dikejutkan oleh pikiran-pikiran aneh ini.
Bagaimanapun, ia segera berusaha mengusirnya dari pikirannya. Namun untuk waktu yang singkat ingatan itu begitu kuat sehingga ia akan mengingatnya sampai akhir hidupnya.
Sebelum pada usia enam belas tahun Adoniram telah masuk perguruan tinggi. Meskipun ayah Adoniram adalah tamatan Yale, namun ia tidak mengirim putranya ke sana, mungkin karena terlalu jauh dari rumahnya. Walaupun Harvard hanyalah lima puluh mil jauhnya, ia tidak mengirim putranya ke sana karena sekolah itu telah menjadi liberal. Sebaliknya Pdt. Judson mengirim putranya ke Rhode Island College di Providence. Tidak lama setelah Adoniram masuk, perguruan tinggi itu berubah nama menjadi “Brown University.” Pdt. Judson tahu bahwa sekolah itu adalah sekolah yang mengajarkan kebenaran, mengajarkan Alkitab. Pdt. Judson merasa bahwa Adoniram akan aman di perguruan tinggi ini.
Karena Adoniram telah mengenal bahasa Latin, Yunani, matematika, astronomi, logika, pidato dan filsafat moral ia masuk sekolah seperti sebagai mahasiswa tahun kedua dari pada mahasiswa tahun pertama. Para profesornya segera menyadari itu. Di akhir kuliah tahun pertama rektor perguruan tinggi tersebut mengirim surat kepada ayahnya, menyebut Adoniram “putra yang sangat baik dan menjanjikan.” Hati Pdt. Judson begitu bangga ketika membaca surat itu.
Para mahasiswa di perguruan tinggi tersebut segera menyadari bahwa, walaupun ia adalah seorang anak pendeta, Adoniram telah memiliki ketertarikan yang sangat kecil dalam menghadiri kebaktian doa yang diadakan dua kali seminggu. Sebaliknya ia menjadi sangat popular dengan anak-anak muda yang belum bertobat di sekolah itu.
Adoniram segera berteman dengan seseorang yang bernama Jacob Eames, yang berusia satu tahun lebih tua darinya. Eames sangat berbakat, pintar dan sangat populer – namun ia adalah seorang Deist (orang yang percaya bahwa dengan pengetahuan, akal dan pikiran, seseorang dapat menentukan Tuhan itu nyata), bukan seorang Kristen. Ia dan Adoniram menjadi sahabat dekat, dan Adoniram sangat dipengaruhi oleh dia sehingga ia segera menjadi seperti orang yang tidak percaya Tuhan seperti Jacob Eames. Jika ayah Adoniram mengetahui bahwa ia telah menjadi Deist, ia pasti segera akan membawa dia keluar dari universitas tersebut. Pdt. Judson menentang liberalism, Uniatarianisme, dan Universalisme, namun ia merasa bahwa Deisme adalah yang terburuk dari semua itu. Kaum Deist menolak Alkitab sepenuhnya. Kaum Deist hanya percaya bahwa ada Allah yang tidak terlibat dengan umat manusia sama sekali. Mereka menolak Kristus sebagai Anak Allah, tidak percaya tentang Sorga atau Neraka, atau Darah penebusan Kristus. Namun Pdt. Judson tidak tahu bahwa sahabat Adoniram, Jacob Eames telah memimpin putranya ke dalam kesesatan dan ketidakpercayaan seperti itu.
Jacob Eames adalah pemimpin kelompok anak-anak muda dimana Adoniram bergabung. Pemuda-pemuda ini belajar bersama, menghadiri peseta bersama, ngobrol bersama, dan bermain bersama. Orang-orang muda ini tidak tertarik pada Kekristenan. Mereka berbicara tentang bagaimana menjadi para penulis tersohor, dramawan, dan para aktor.Mereka mau menjadi para pengikut Shakespeare dan Godsmiths dari Dunia Baru di Amerika. Seluruh agama yang ayah Adoniram ajarkan dengan begitu hati-hati kepada putranya lenyap sepenuhnya. Jacob Eames telah “membebaskan” Adoniram dari kepercayaan lama ayahnya, dan telah membebaskan dia untuk mencari ketenaran dan kekayaan.
Namun Adoniram memiliki perasaan bersalah yang membuat dia gelisah. Menolak Allah ayahnya adalah sama dengan menolak ayahnya, yang masih ia sangat hormati di dalam hatinya. Ia sungguih takut akan penolakan ayahnya, sehingga ia tidak pernah menyampaikan ketidakpercayaannya ketika ia pulang liburan semester.
Adoniram menjadi juara satu di kelasnya. Ia dipilih menjadi wakil wisudawan, dan menyampaikan pidatonya di acara wisudanya. Segera setelah ia tahu bahwa ia telah memenangkan kehormatan ini ia lari ke kamarnya dan menulis, “Ayah yang tersayang, saya telah memperolehnya. Putra kesayanganmu, A.J.” Di akhir wisuda itu, pada posisi yang paling terhormat. Adoniram memberikan pidatonya, dengan menyampaikan betapa ia sangat bangga kepada ayah dan ibunya di hadapan para hadirin.
Jadi, di usia sembilan belas tahun, Adoniram telah memulai pekerjaan hidupnya. Namun ia tidak memiliki ide untuk menjadi apa! Ia pulang ke rumahnya dan pergi ke gereja bersama dengan ayah dan ibunya setiap Minggu. Kedua orangtuanya tidak tahu bahwa ia sekarang telah menjadi orang tidak percaya. Ia merasa seperti seorang munafik setiap kali ia bersama ayah dan ibunya dalam doa bersama keluarganya.
Setiap minggu ia semakin resah. Ia menyimpan pikiran tentang ambisi-ambisi yang ia telah ia bicarakan dengan Jacob Eames. Pada musim panas itu ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi ke New York. Ia akan menjumpai orang-orang yang bekerja dengan theater. Ia akan belajar menulis drama sebagai langkah awalnya. Ia tahu bahwa ayah dan ibunya telah berpikir bahwa New York adalah kota yang paling penuh dosa di Amerika, sebuah Sodom modern. Ia tahu bahwa mereka berpikir theater adalah lubang neraka dari kebobrokan dan dosa. Namun ia berpikir bahwa orangtuanya terlalu berpikiran sempit.
Segera ia mempersiapkan diri untuk pergi ke New York. Kedua orangtuanya bereaksi seperti seakan ia sedang pamit kepada mereka bahwa ia akan melakukan perjalanan ke bulan! Mereka tidak menyadari bahwa ia telah bertujuan untuk bebas dari aturan mereka, bertindak dan berpikir untuk dirinya sendiri sebagai seorang dewasa. Pada titik ini ayahnya meminta dia untuk belajar menjadi seorang pendeta. Ketika Adoniram mendengar itu, ia berusaha mengatakan suatu kebenaran kepada orangtuanya. Bahwa Allah mereka bukan Allahnya. Bahwa ia tidak percaya lagi Alkitab. Bahwa ia tidak percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah.
Ayahnya mencoba untuk berargumentasi dengannya, namun gagal. Ibunya menangis dan meratap sambil ia mengikuti dia dari kamar ke kamar. “Bagaimana kamu dapat melakukan ini kepada ibumu?” ia berteriak. Adoniram yang sangat disayanginya telah memilih Iblis dan menolak Allah. Ia dapat mendengar tangisan dan doa ibunya untuk dia kapanpun ia pulang ke rumah.
Adoniram menerima itu tanpa mengeluh selama enam hari. Kemudian ia mengambil kudanya dan menungganginya menuju New York. Namun ketika ia sampai di sana ia menemukan bahwa kota itu bukan sorga seperti yang ia mimpikan. Tidak ada yang menyambutnya dan tidak ada pekerjaan. Ia hanya tinggal beberapa minggu sebelum pergi dalam penolakan dan sakit hatinya.
Ketika matahari mulai tenggelam ia sampai di sebuah desa kecil. Ia menemukan sebuah penginapan, mengikat kudanya di kandang, dan memesan kamar kepada pemilik penginapan. Penginapan itu hampir penuh. Hanya ada satu kamar yang tersisa. Seorang tuan tanah itu menjelaskan kepadanya bahwa kamar di sebelahnya ada anak muda yang sakit keras, mungkin sedang sekarat. Ia pasti akan terganggu malam itu. “Tidak,” kata Adoniram, ia tidak akan membiarkan sedikit keributan di sebelah kamarnya menghentikan dia untuk menikmati istirahat yang tenang malam itu. Setelah memberi dia sesuatu untuk dimakan, sang tuan tanah itu membawa Adoniram ke kamarnya dan meninggalkan dia di sana. Adoniram pergi tidur, dan berharap bisa tidur.
Namun ia tidak dapat tidur. Ia dapat mendengar suara pelan yang berasal dari kamar di depannya, kadang kedengaran dan kadang tidak, seperti ada suara papan yang berkeretak, suara-suara pelan, namun kadang raungan dan hembusan nafas. Suara-suara ini tidak terlalu mengganggunya – tidak mengganggu karena ia berpikir orang itu mungkin sekarat. Kematian adalah hal yang umum bagi New England-nya Adoniram. Itu memang harus terjadi kepada setiap orang, berapapun umurnya.
Apa yang mengganggunya adalah pikiran bahwa orang itu ada di dalam kamar di samping kamarnya yang tidak siap untuk mati. Apakah ia, dirinya sendiri, siap untuk itu? Pikiran-pikiran ini melewati pikirannya ketika ia berbaring setengah mimpi dan setengah sadar di sana. Ia ingin tahu bagaimana ia sendiri akan menghadapi kematian. Ayahnya akan menganggap kematian seperti pintu terbuka menuju kemuliaan kekal. Namun bagi Adoniram, pemuda tidak percaya Tuhan ini, kematian adalah pintu menuju jurang kehampaan, menuju kegelapan, kebinasaan, lebih buruk lagi – apa? Tubuhnya akan hancur seperti ketika ia berpikir tentang kubur, tubuhnya yang mati membusuk, ditimbun di dalam tanah dalam peti mati. Apakah semua ini, melalui abad-abad tiada akhir?
Namun bagian lain dari dia mentertawakan pikiran-pikiran tengah malam ini. Apa yang akan teman-temanya di perguruan tinggi pikirkan tentang teror-teror malam itu? Di atas semua, apa yang akan sahabat baiknya Jacob Eames pikirkan? Ia membayangkan Eames mentertawakan dia, dan ia merasa malu.
Ketika ia bangun matahari sudah terbit menerobos jendelanya. Ketakutannya telah sirna bersama dengan kegelapan itu. Ia dapat sulit mempercayai mengapa ia menjadi begitu lemah dan takut pada malam itu. Ia berpakaian dan turun untuk sarapan. Ia menemui pemilik penginapan dan membayar tagihannya. Kemudian ia bertanya apakah anak muda di sebelah kamarnya itu sudah lebih baik. Orang itu menjawab, “Ia telah meninggal dunia.” Kemudian Adoniram bertanya, “Apakah Anda tahu siapakah dia itu?” Pemilik penginapan itu menjawab, “Oh. Iya. Ia adalah anak muda dari Brown University, namanya adalah Eames, Jacob Eames.” Itu berarti sahabat baiknya, Jacob Eames yang tidak percaya Tuhan, yang telah mati di sebelah kamarnya malam itu.
Adoniram tidak pernah dapat mengingat bagaimana ia melalui beberapa jam berikutnya. Semua yang ia ingat adalah bahwa ia tidak meninggalkan penginapan itu untuk beberapa jam. Akhirnya ia pergi, menunggang kudanya dalam kebingungan. Satu kata terus merasuki pikirannya – “terhilang!” Dalam kematian, sahabatnya Jacob Eames masih terhilang – sepenuhnya terhilang. Terhilang dalam kematian. Kehilangan sahabat-sahabatnya, kehilangan dunia, kehilangan masa depan. Jika pandangan-pandangan Eames sendiri benar, bukankah kehidupan dan kematiannya tidak memiliki arti.
Namun bagaimana jika Eames salah? Bagaimana jika Alkitab secara literal benar dan pribadi Allah itu nyata? Kemudian Jacob Eames terhilang untuk selama-lamanya. Dan setelah itu, pada saat itu, Eames tahu bahwa ia salah. Namun sekarang sudah sangat terlambat bagi Eames bertobat. Ketika mengetahui kesalahannya, Eames telah terlanjur mengalami siksaan api neraka yang tak terlukiskan. Semua kesempatan untuk diselamatkan telah hilang, terhilang untuk selama-lamanya. Pikiran-pikiran ini mengguncangkan pikiran Adoniram. Adoniram berpikir bahwa sahabat baiknya mati di sebelah kamarnya tidak mungkin suatu kebetulan belaka. Adoniram berpikir bahwa Allah ayahnya telah merancang peristiwa-peristiwa ini melalui ketetapan, itu sama sekali bukanlah suatu kebetulan.
Tiba-tiba Adoniram merasa bahwa Allah dari Alkitab adalah Allah yang riil. Ia memutar kudanya dan menuju rumahnya. Perjalanan menuju rumahnya memerlukan waktu lima minggu, namun selama lima minggu itu apa yang ia telah mulai untuk membebaskan diri dari kendali orangtuanya telah berbalik menguncang jiwanya dengan begitu hebatnya. Selanjutnya hatinya begitu kacau, dalam ketakutan akan kematian jiwanya. Ia pulang ke rumahnya sebagai orang berdosa yang telah dibangunkan.
Pada saat itu dua pendeta datang ke rumah ayahnya. Mereka mengusulkan agar Adoniram mendaftarkan diri ke seminari yang baru saja dibuka. Ia masuk ke Andover Theological Seminary pada bulan Oktober. Ia belum bertobat pada waktu itu, sehingga ia mendaftar sebagai mahasiswa khusus, bukan sebagai calon hamba Tuhan. Sebagai seorang mahasiswa di sana ia mulai membaca Alkitab dalam bahasa asli, yaitu bahasa Ibrani dan Yunani. Sebelum November keraguannya mulai pergi, dan ia dapat menulis bahwa ia “mulai menemukan harapan untuk menerima pengaruh Roh Kudus yang melahirbarukan.” Pada hari kedua di bulan Desember – suatu hari yang ia tidak pernah lupakan – ia bertobat dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah. Sejak saat itu ia benar-benar menjadi manusia baru. Ia berbalik dari mimpi-mimpi kesuksesan duniawinya untuk selama-lamanya dan bertanya kepada dirinya sendiri, “Bagaimana saya dapat menjadi paling berkenan di hadapan Allah?”
Ini adalah suatu pertobatan penting yang sangat luar biasa, karena itu memimpin Adoniram menjadi misionaris ke negeri asing pertama, yaitu ke Burma. Setibanya di ladang misi, Adoniram Judson menjadi seorang Baptis, melalui studi kata Yunani “baptizo.” Ia mau pergi ke Burma pada saat ketika tidak ada misionaris yang pernah datang ke negeri penyembah berhala itu. Walaupun penderitaan yang begitu pahit, dipenjarakan dan berbagai tragedi menimpa keluarganya, termasuk kematian dari istri pertama dan kemudian istri keduanya dan beberapa anaknya, Adoniram Judson tidak pernah bimbang dalam memenuhi komitmennya untuk memenangkan jiwa bagi Kristus, dan menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Burma. Betapa kami berdoa agar beberapa anak muda di gereja kita ini akan mengalami pertobatan sejati, seperti Adoniram Judson, dan pergi melayani Kristus selama hidupnya. Dr. John R. Rice (1895-1980) menulis sebuah lagu yang dengan sempurna menggambarkan pertobatan Adoniram.
Aku hidup menuruti kesenanganku, Aku bekerja keras untuk harta dunia,
Namun dama damai yang melampaui segalanya, hanya ku temukan dalam Yesus….
Kesombongan akan kebaikanku menggagalkanku, Tiada obat untuk dosa yang menyakitiku
Roh Allah kemudian menginsafkanku, Tuk meninggalkan dosa-dosa ku ke atas Yesus.
Firman Allah telah lama ku tolak, Roh-Nya memanggil, memintaku dengan tegas
Bertobatlah, Oleh Yesus, Yesus yang berharga
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.
Oh Kristus, karena kasih yang tiada henti, Karena berkat yang terus meningkat
Karena semua ketakutanku sirna, Aku memuji dan mengasihi Yesusku.
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.
(“Jesus, Only Jesus” by Dr. John R. Rice, 1895-1980).
Namun dama damai yang melampaui segalanya, hanya ku temukan dalam Yesus….
Kesombongan akan kebaikanku menggagalkanku, Tiada obat untuk dosa yang menyakitiku
Roh Allah kemudian menginsafkanku, Tuk meninggalkan dosa-dosa ku ke atas Yesus.
Firman Allah telah lama ku tolak, Roh-Nya memanggil, memintaku dengan tegas
Bertobatlah, Oleh Yesus, Yesus yang berharga
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.
Oh Kristus, karena kasih yang tiada henti, Karena berkat yang terus meningkat
Karena semua ketakutanku sirna, Aku memuji dan mengasihi Yesusku.
Semua dosa ku kini diampuni, Rantai dosa telah dipatahkan,
Dan segenap hatiku kuserahkan, Kepada Yesus, hanya Yesus.
(“Jesus, Only Jesus” by Dr. John R. Rice, 1895-1980).