Rabu, 07 Desember 2011
KEAJAIBAN NATAL - 20
JAKARTA -- Desember lalu adalah Natal kelima yang harus saya lewati bersama ketiga anak saya yang masih kecil-kecil. Lima tahun sudah suami saya meninggalkan Tuhan dan menelantarkan saya dan anak-anak demi kehidupan barunya dengan wanita lain.
Enam bulan pertama saat kepergian suami, hati saya remuk. Begitu juga dengan jiwa anak-anak yang hancur berpuing-puing. Saat itu, saya dan anak-anak sempat mengalami depresi berat. Saya semakin putus asa karena doa-doa saya yang meminta Tuhan untuk mengembalikan suami saya tidak terkabul.
Sempat terlintas dalam pikiran saya untuk meninggalkan Tuhan yang saya anggap tuli, buta, dan melalaikan saya. Terlebih lagi, banyak gereja yang hanya mau melayani kaum janda yang ditinggal mati pasangannya, tetapi menutup mata terhadap kaum perempuan yang ditinggal selingkuh, diceraikan, ataupun ditelantarkan pasangannya.
Belum sempat saya berjalan terlalu jauh meninggalkan-Nya, Tuhan mengirimkan rohaniwan, konselor, dan kawan-kawan rohani untuk menopang jiwa dan membalut luka hati saya. Setelah menjalani konseling dan terapi yang cukup lama, akhirnya saya bisa mengampuni suami walau dari mulutnya tidak pernah terucap kata maaf sekali pun.
Tidak hanya mengampuni, saya berusaha untuk mendoakan, memintakan berkat, dan menjalin hubungan baik dengan mantan suami saya. Sejak saat itu, Tuhan memulihkan hati saya dan Dia telah melumpuhkan sengat-sengat dari kenangan pahit saya. Tuhan mengizinkan saya untuk tetap mengingat pengkhianatan suami tanpa harus merasakan lagi sengatnya.
Ketika mencari hikmat, saya tahu bahwa Tuhan sedang berkarya lewat kegagalan rumah tangga saya. Rencana manusia boleh saja gagal, tetapi rencana Tuhan tidak pernah gagal dan kegagalan saya tidak akan menggagalkan rencana Tuhan untuk menyelamatkan saya dan keturunan saya.
Itulah sebabnya, saya tidak lagi menyalahkan suami dan istri barunya, serta orang-orang yang mendukung mereka. Walaupun pada awalnya saya merasa apa yang mereka lakukan mengoyak jiwa, akhirnya saya bisa merasakan tangan Tuhan yang membebat hati saya. Lebih ajaib lagi, Tuhan menggunakan penderitaan saya untuk meringankan dan memulihkan hati anak-anak Tuhan yang lain.
Walaupun kesaksian hidup saya banyak menolong anak-anak Tuhan untuk bangkit dari keterpurukan, bukan berarti karier pelayanan saya menemui jalan mudah. Tidak sedikit gereja yang memarginalkan saya karena dianggap tidak mampu membangun keluarga yang harmonis.
Beberapa rohaniwan bahkan mengingatkan saya untuk tidak memimpikan jabatan majelis atau pelayan Tuhan di gereja karena hidup saya dianggap cacat. Saya pun mencoba mencari kembali makna hidup di luar gereja supaya saya tetap merasa berharga dan berguna bagi orang lain, sebagaimana Tuhan menganggap saya berharga dan penting di dalam rencana-Nya.
Itulah sebabnya, saya memilih persekutuan HOPE-LK3 yang merupakan "bengkel hati" bagi anak-anak Tuhan yang mengalami masalah perselingkuhan, perceraian, dan disharmoni dengan pasangan. Di sana, saya bisa "mengais" jiwa-jiwa yang "terbuang" dan tak terlayani oleh gereja.
Hampir satu setengah tahun saya bergaul dengan Ibu Lily dalam komunitas senasib di HOPE-LK3.
Saat perkenalan pertama, saya melihat wajah Ibu Lily sangat dingin dan tidak menarik, seolah menyimpan derita yang begitu besar. Sudah tiga tahun lebih Ibu Lily pisah ranjang karena suaminya memilih tidur dengan istri simpanannya.
Walaupun sudah lama bergabung dalam HOPE-LK3, baru beberapa bulan terakhir ini Ibu Lily mau membagi beban. Ia menangis, menumpahkan sejuta kekecewaannya. Tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali duduk diam di sampingnya, mendengarkan, dan menatapnya penuh empati, sambil sesekali memberikan tisu untuk menyeka air mata yang membanjiri wajah Ibu Lily. Setelah puas menangis, wajah Ibu Lily tampak lebih cerah dan memancarkan kecantikan yang luar biasa.
Saya bersyukur karena persekutuan HOPE-LK3 telah dipakai Tuhan untuk mengeluarkan nanah-nanah dari hati Ibu Lily. Ibu Lily yang dulu selalu menyalahkan suami dan wanita penggodanya perlahan-lahan belajar mengampuni suaminya.
Ibu Lily yang sudah tiga tahun tidak bertegur sapa dengan suaminya, akhirnya mau merendahkan diri di hadapan Tuhan untuk membuka kembali komunikasi. Ketika LK3 merayakan Natal, Ibu Lily mengundang suaminya tanpa memikirkan bagaimana respons yang akan didapatnya.
Walaupun suaminya tak menanggapi undangan tersebut, Ibu Lily tetap tersenyum karena ia melakukannya bukan untuk suaminya, tetapi untuk Tuhan.
Saat merayakan Natal, saya dan Ibu Lily mencoba memaknai kehadiran Kristus dalam keluarga kami yang tak utuh lagi. Kami meyakini bahwa kehadiran Tuhan bukan untuk meniadakan masalah atau membuat kami kebal dari virus yang melukai hati.
Melalui Natal, kami percaya Kristus datang untuk memulihkan hati kami walau keadaan sangat sulit. Walaupun pasangan kami terus melukai hati kami, tetapi kami harus tetap bersikap baik sebagaimana yang Tuhan kehendaki.
Lewat Natal, Tuhan hadir untuk memulihkan hubungan kami dengan Tuhan. Kami tidak lagi mempermasalahkan apa yang terjadi dan apa yang akan Tuhan kerjakan.
Yang terpenting bagi kami adalah melakukan bagian kami untuk mengampuni, mengasihi, dan memberkati orang lain. Kami percaya Tuhan hadir untuk mengerjakan bagian-Nya.
Kami percaya, melalui Natal kali ini, Tuhan menginginkan kami memulihkan hubungan sosial dengan pasangan/mantan pasangan kami, walaupun hubungan itu tak seindah yang kami impikan.