Aku menyesal karena telah berjanji kepada Ny. Saunders, koordinator bazar Natal tahunan. "akan menyumbangkan sebuah door prize “pohon natal”
Keesokan harinya, kumasukkan pohon "Joy to the World" ke dalam mobilku dengan hati-hati. Secara spontan, aku segera kembali ke dalam rumah dan menyambar segulung kabel tambahan, sebuah tape recorder yang bisa di bawa, dan kaset "Joy to the World". Ketika aku tiba di bazar, semua orang larut dalam suasana kegembiraan hari raya.
Seorang wanita berjalan santai dari biliknya. Ia menjual kaos kaki panjang dengan seni tambalan. Lalu, wanita yang menjual roti jahe bergabung dalam pembicaraan kami. "Saya membeli 3 karcis untuk bazar," ia bergurau. "Saya akan pulang dan membawa pohon ini."
Kita pasti akan melampaui rekor orang yang hadir dan mencapai ribuan." Tak lama kemudian, ruangan dipenuhi oleh para pembeli yang terus mengalir. Sepanjang hari, pohon yang kami buat menjadi pusat perhatian para pengunjung yang menginginkannya.
Beberapa menit sebelum jadwal penarikan undian, seorang wanita bertubuh kecil menukarkan 50 sen untuk sebuah karcis. Wanita itu kelihatan lelah dan memakai mantel kelabu yang kumal. Rambutnya dikepang dengan rapi dikonde, membatasi wajah yang bersih dari apa pun, kecuali rona suatu kemantapan.
"Kami datang ke kota untuk membeli makanan ternak dan aku membujuk suamiku agar berhenti di sini," katanya. "Aku mempunyai sedikit sisa uang untuk berbelanja. Tetapi, ia meyakinkanku bahwa tak banyak yang bisa kubeli di tempat mahal seperti ini." Wanita itu mengagumi beberapa barang, di antaranya boneka malaikat yang terbuat dari kain sutera yang mengkilap, agar-agar buatan sendiri, dan kue yang terbuat dari buah dan dipanggang. Kue itu menyerupai rangkaian bunga berbentuk lingkaran untuk hari Natal. Tangannya yang kasar dan berlekuk-lekuk mengambil kue kepingan salju yang dirajut rumit seperti jaringan laba-laba. "Coba lihat ini," katanya. "Suatu hari nanti, aku akan mempunyai pohon Natal dan akan memenuhinya dengan ini semua."
Ketika ia mendekati bilikku, ia berseru, "Pohon itu ... boneka-bonekanya! Sepanjang hidupku, aku menginginkan sebuah boneka yang cantik. Apakah seseorang akan memenangkan semua boneka itu?" Ia bertanya dengan pandangan mata seperti orang bermimpi. Aku memperdengarkan lagu "Joy to the World" dan suaranya memenuhi ruangan. "Paduan suara ini menyanyikan lagu itu sampai ke gereja," katanya. "Ini selalu mengingatkanku tentang orang-orang di seberang laut seperti yang diceritakan oleh wanita misionaris itu."
Semua mata sekarang tertuju pada orang yang akan segera memenangkan nomor untuk undian karcis berhadiah. Dari mana-mana, kudengar bisikan: "Jangan lupa, pohon itu milikku ... Tidak, itu milikku .... Itu untuk cucu-cucuku yang akan datang pada Natal ...." Tetapi, wanita yang sangat kecil itu tidak pernah melepaskan pandangannya dari pohon itu. "
Lalu, terdengarlah pengumuman yang sudah lama dinanti-nantikan: "Hadiah untuk undian karcis berhadiah jatuh pada nomor 1153!" Aku memandang tangan kasar yang berlekuk-lekuk. Ia memegang karcis yang memenangkan hadiah dan kuremas pundaknya yang kurus. "Ibu memenangkan pohon itu! Ibu memenangkan pohon itu!" aku berteriak. "Maksud kamu karcisku? Aku belum pernah mendapat sesuatu yang indah seperti ini." Air mata mengalir di pipinya yang keriput. Aku mematikan lampu-lampu dan tape recorder. Lalu, aku menggulung kabel tambahannya. "Apakah aku juga mendapat kotak musik dan kabel yang panjang itu?" tanyanya. "Aku akan meletakkan pohon itu di alat pemutar dan kami hanya mempunyai satu stop kontak di ruangan. Aku pasti memerlukan kabel tambahan itu."
"Tentu saja ... ini adalah Natal," jawabku ketika kubawa pohon itu ke luar dan kuberikan kepadanya. Setelah itu, sebuah truk pick up kuning yang karatan maju ke depan. Kemudian, seorang pria yang memakai pakaian kerja, kemeja flanel kotak-kotak, dan sebuah topi bertuliskan "I love Kentucky" melompat ke luar. "Sadie, apa yang kau peroleh?" ia berteriak dengan senyuman dan memperlihatkan sebuah gigi yang ompong. "Pa, aku memenangkan hadiah! Aku memenangkan pohon ini!"
Pria itu segera mengatur barang-barang yang ada di mobilnya, antara lain cangkul, rantai roda, dan berkantung-kantung pakan ternak. Ia berusaha menyediakan tempat untuk pohon itu di lantai truknya. Ia menarik pisau sakunya dan memotong dua kantung pakan ternak yang kosong untuk menutupi pohon itu. Kemudian, ia mengikatnya dengan tali timba. "Percayakah Anda?" seorang penonton terperangah. "Mereka membawa pergi pohon yang indah itu dengan truk tua yang usang. Untuk apa mereka memerlukan pohon semacam itu?"
Aku melambaikan selamat berpisah ketika truk yang bersuara bising itu menghilang ke langit malam yang berwarna ungu. Di mata hatiku, aku dapat melihat pohon itu diberi tempat terhormat di jendela sebuah pondok yang sederhana, dengan cahaya yang temaram, dan di tengah-tengah pegunungan Appalachian. Menurutku, rakyat yang tinggal di daerah itu termasuk orang-orang yang bahagia. Mereka bukan penjelajah dunia tetapi pekerja keras. Pada Desember yang dingin, asap hitam sepertinya akan bergulung-gulung keluar dari cerobong asap mereka ke udara bila mereka sekeluarga berkumpul di sekeliling pohon.
Meskipun demikian, aku tetap yakin bahwa akulah pemenang yang sesungguhnya pada bazar Natal itu. Bazar ini merupakan suatu tradisi yang sudah berlangsung lama di Amerika. Aku menemukan kembali panggilan hati bagi orang-orang percaya di setiap tempat. Kita membawa cahaya Tuhan dan lagu-Nya ke tempat- tempat yang gelap dan kosong di dunia.