Selasa, 27 November 2012

HIDUP YANG BERINTREGRITAS

GALATIA 2 :11-14 Tembok Besar Cina, the Great wall, merupakan bangunan terpanjang yang pernah dibuat oleh manusia. Untuk membuat tembok raksasa ini, diperlukan waktu ratusan tahun. Tembok itu panjangnya 10.000 li atau 6.400 kilometer, tingginya 8 m dan lebar bagian bawahnya 8 m, sedangkan lebar bagian atasnya 5 m. Tembok ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah serbuan bangsa Mongol dari utara pada masa itu. Itulah sebabnya, setiap 180-270 m dibuat semacam menara pengintai. Bagi orang-orang yang hidup pada waktu itu, tembok ini terlalu tinggi untuk dapat dipanjat, terlalu tebal untuk didobrak, dan terlalu panjang untuk dikelilingi. Itulah yang membuat orang-orang yang tinggal di sebelah dalamnya merasa sangat aman. Namun, sepanjang sejarah, beberapa ratus tahun setelah tembok itu berdiri, orang-orang di sana telah diserang tiga kali. Ribuan musuh masuk tanpa merobohkan dan memanjat tembok. Bagaimana caranya? Mereka masuk melalui pintu utama dengan cara menyuap penjaga pintu gerbang dengan sejumlah uang dan wanita. Karena hal itu, orang sering mengatakan, “The Chinese were so busy relying upon the walls of stone that they forgot to teach integrity to their next generations.” Artinya, “Orang-orang Tionghoa pada masa itu terlalu bersandar pada kekuatan tembok yang terbuat dari batu tersebut, sehingga mereka lupa untuk mengajarkan tentang integritas kepada generasi muda mereka.” Tanpa integritas para penjaga, kekuatan tembok besar yang luar biasa dalam melindungi dan menyelamatkan jiwa-jiwa manusia tidak berarti apa-apa. Menurut George Barna, pendiri dan ketua dari Barna Reseacrh Group, di California, yang mengkhususkan diri untuk melakukan riset-riset Kristen, selama 15 tahun terakhir ini, gereja-gereja di Amerika telah menghabiskan dana $500 milyard. Itu berarti rata-rata per tahun gereja-gereja di Amerika telah menghabiskan dana sebesar Rp.310 triliun untuk membiayai aktivitas-aktivitas yang diadakan oleh gereja. Yang mengejutkan adalah selama 15 tahun terakhir itu persentase peningkatan jiwa-jiwa baru yang percaya pada Yesus adalah nihil. Apa sebabnya? George Barna menyimpulkan bahwa integritas para pemimpin Kristen merupakan salah satu penyebabnya. Para pemimpin yang tidak memiliki integritas telah menyebarkan kemunafikan yang meluas di dalam gereja-gereja sehingga gereja tidak ada bedanya dengan pentas teater di mana para pemainnya sibuk berganti-ganti topeng. Sungguh dahsyat dampak dari kemunafikan. Ketika menyadari hal ini hati kita menjadi takut karena kita sadar bahwa kita pun adalah orang-orang munafik yang hidup dari topeng ke topeng. Kita selalu ingin dilihat orang sebagai orang baik, tetapi kita tahu kita tidak demikian. Kita mengecam orang yang melakukan dosa, tetapi diam-diam kita sendiri hidup dalam dosa yang sama. Kita membenci orang yang suka berdusta, tetapi hidup kita sendiri bertahun-tahun dibangun atas kebohongan. Kita sering menggelenggelengkan kepala ketika kita mendengar kabar tentang seseorang yang enggan pergi memberitakan Injil, tetapi sebenarnya kita pun sudah lama merasa terpaksa menjalankannya. Oh, hanya Tuhan yang tahu betapa kotornya diri kita masingmasing. Kita bukanlah orang-orang Kristen yang berintegritas. Kita bukanlah orang yang jujur di mata Allah dan manusia. Bahkan kita juga tidak jujur kepada diri kita sendiri. Bila pemberitaan Injil sangat ditentukan oleh integritas kita, maka siapakah dari kita yang berani optimis bahwa pekerjaan yang Tuhan percayakan kepada kita itu akan dapat kita kerjakan dengan sukses? Saudara, saya kira pergumulan-pergumulan yang kita alami, juga dialami oleh Petrus. Dia sadar bahwa dia bukanlah orang yang berintegritas. Dia ingat saat malam Yesus hendak disalibkan, Yesus berkata kepada Petrus bahwa ia akan menyangkal-Nya tiga kali. Kata Petrus, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau” (Mat.26:35). Beberapa jam kemudian, ia melakukan persis seperti yang dikatakan Yesus. Petrus mendapati bahwa ia bukan orang yang memiliki integritas seperti yang ia kira selama ini. Kenyataan ini pasti sangat menyakitkan hati Petrus. Petrus tentu bertanya-tanya mengapa seorang manusia sepertinya bisa ditunjuk untuk menjadi pemimpin gereja Tuhan? Bahkan setelah ia diampuni oleh Tuhan Yesus dan dipercayakan lagi untuk menjadi pemimpin gereja untuk menggembalakan domba-domba Tuhan, ia sekali lagi jatuh pada tindakan kemunafikan. Teguran keras Paulus di muka umum tentu membuat mukanya merah. Ia mungkin marah dan berkata dalam hatinya, “Hai Paulus, jangan sombong! Siapa sih kamu itu? Sebelum kamu menjadi hamba Tuhan, aku sudah menjadi pendeta besar. Sadar Paulus, kamu itu masih mahasiswa praktik satu tahun. Masa depan kamu tergantung rekomendasi aku, ngerti!!!” Atau ia bisa saja membawa Paulus menyingkir berdua dan berkata, “Paulus, kalau aku memang salah, tegur aku secara pribadi, tapi jangan di depan orang banyak seperti itu. Bukankah Tuhan Yesus mengajar kita untuk menegur orang pertama-tama empat mata dulu? Jadi, apa maksud kamu? Ha!” Tetapi, saudara-saudara, Alkitab diam seribu bahasa dalam melukiskan reaksi Petrus terhadap teguran keras Paulus. Saya menduga yang terjadi mungkin sebaliknya. Teguran keras Paulus mengingatkannya kembali akan suara ayam berkokok yang meruntuhkan kebanggaan dirinya. Ia kembali sadar bahwa dirinya sangat tidak memenuhi kualifikasi untuk menjadi seorang pemimpin Kristen yang dapat diteladani. Perasaan tidak layak mungkin saja menguasai dirinya dan dalam keadaan seperti itu bisa saja dia bertanya kepada Tuhan, “Mengapa aku Tuhan, mengapa aku yang Kau pilih untuk menjadi pemimpin gereja-Mu? Aku bukanlah orang yang berintegritas. Aku tetap sama, Petrus yang dulu! Ah, bagaimana mungkin aku bisa menjadi hamba yang berintegritas?” Aplikasi Saudara, itulah persoalan Petrus dan bukankah itu pula yang menjadi persoalan kita semua, hamba-hamba Tuhan yang terlibat dalam pelayanan Tuhan? Syukur kepada Tuhan! Meskipun Tuhan tahu orang macam apakah kita ini; meskipun Tuhan tahu bahwa kita hanyalah sumbu-sumbu yang berasap yang tidak lagi mampu menyala terang; meskipun Tuhan tahu bahwa kita hanyalah buluh-buluh yang telah terkulai yang tidak ada gunanya lagi selain dipatahkan dan dibuang, pengetahuan Tuhan itu tidak menurunkan keyakinan Tuhan bahwa kita masih dapat dipulihkan dan dapat menjadi seorang hamba yang baik. Karena itu Ia datang dan berkata, “Sumbu yang berasap tidak akan Kupadamkan, buluh yang terkulai tidak akan Ku-patahkan.” Ia tidak memandang hina kekurangan-kekurangan kita. Ia tidak mencari seorang hamba yang sempurna, tetapi seorang hamba yang mau berpegang teguh pada kebenaran dan berusaha mewujudkannya dalam kehidupannya. Ia menghargai seorang hamba yang memiliki komitmen untuk hidup berintegritas dan yang rela ditegur oleh orang lain bila ia tidak bertindak konsisten dengan kebenaran itu. Saudara, integritas dimulai dengan suatu kejujuran untuk mengakui kelemahan-kelemahan kita. Kemudian meminta Tuhan untuk menolong kita mengatasi kelemahan-kelemahan itu. Maka kasih karunia-Nya cukup untuk memampukan kita dalam mengatasi kelemahan-kelemahan itu dan mengubahnya menjadi tempat di mana kita selalu bersandar pada Tuhan.