Kali pertama saya mendengar tentang Allah adalah dari seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Beijing tempat saya belajar. Teman saya ini, melewatkan liburannya dengan bersepeda di sepanjang Sungai Kuning (Yellow River) di China. Dia menceritakan kisah yang berikut ini dengan suara yang pelahan dan sangat berhati-hati. Kisah ini meninggalkan kesan yang sangat mendalam di dalam hati saya.
Di tengah perjalanannya, dia tiba di sebuah desa yang sangat miskin. Desa itu begitu miskin di mana sudah bertahun-tahun tidak ada wanita yang mau menikah dengan pria dari desa itu; bahkan burung-burung tidak akan hinggap saat terbang melewati desa itu.
Saat teman saya singgah di desa itu, sekelompok penduduk desa meminta dia agar mau menolong mereka. Teman saya pada awalnya bingung apa yang mereka mau dia lakukan.
Pada hari Minggu itu, mereka berkumpul di sebuah gubuk yang diperbuat dari jerami dan tanah liat. Gubuk itu diterangi oleh sebuah pelita minyak yang kecil dan mereka mengeluarkan sesuatu yang dibungkus dengan kain dan plastik hitam untuk melindunginya dari terkena air. Dengan sangat berhati-hati seseorang membuka kain dan plastik itu lapis demi lapis, dan pada akhirnya terlihat sebuah Alkitab. Halamannya sudah berwarna kuning dan pinggirnya sudah agak terlipat. Itulah satu-satunya Alkitab yang ditinggalkan oleh seorang misionaris, yang telah diusir keluar saat revolusi Komunis 40 tahun sebelumnya.
Penduduk desa itu sudah menyimpan Alkitab itu selama ini, mempertaruhkan nyawa mereka untuk melindungi satu-satunya Alkitab yang merupakan harta bernilai di mata mereka. Namun mereka mempunyai suatu masalah. Tidak ada satu pun orang di desa itu yang bisa membaca. Jadi setiap kali mereka berkumpul untuk ibadah di hari Minggu, mereka akan mengeluarkan Alkitab itu dan mengedarkannya agar setiap orang bisa menyentuh Alkitab itu untuk seolah-olah dengan berbuat demikian bisa menjalin suatu kontak dengan Allah.
Mereka sangat bersukacita dapat bertemu dengan teman saya karena doa-doa mereka selama itu sudah terjawab. Mereka memohon sangat padanya untuk membacakan Alkitab itu. Teman saya membacakan.
Malam itu, dia berdiri di atas sebuah bangku, membaca, membaca dan terus membaca. Saat dia membaca, para penduduk desa itu berdiri dan dengan khusyuk mendengarkan. Mereka begitu lapar dan haus mendengarkan setiap kata yang diucapkan dari bibirnya; mereka berdiri tanpa bergerak untuk mendengarkan dia, berjam-jam dan tanpa bosan-bosan, sampai akhirnya fajar menyingsing dan mereka harus kembali untuk bekerja di ladang masing-masing. Dengan berat hati, mereka meninggalkan gubuk itu satu per satu, mendapatkan sesuatu yang sudah begitu lama mereka dambakan.
Sebagai tanda terima kasih kepada teman saya karena telah membacakan firman Allah pada mereka, teman saya dihadiahkan satu karung penuh ubi jalar - satu-satunya barang yang dapat mereka temukan di desa mereka yang miskin itu untuk diberikan pada dia.
Teman saya harus membuang banyak barang di sepanjang perjalanannya namun di sepanjang perjalanannya yang sulit dan panjang itu, dia tetap menyimpan ubi itu sampai dia menyelesaikan petualangannya.
Dilahirkan dalam lingkungan ateis, itulah kali pertama saya mendengar tentang Allah. Kehausan penduduk desa yang terpencil akan Firman Tuhan menimbulkan suatu tanda tanya yang besar di dalam hati saya dan bisa dikatakan merupakan titik awal perjalanan panjang saya untuk tiba pada pengenalan Allah yang hidup ini.
(Chai Ling adalah seorang pemimpin mahasiswa pro-demokrasi di tahun 1989 di Lapangan Tiananmen yang lewat pergumulan panjang akhirnya tiba pada pengenalan akan Allah.)