Sudah lama Raja tidak mengadakan penyamaran untuk melihat keadaan rakyatnya. Dia ingin sekali melihat langsung keadaan hidup rakyatnya, karena selama ini menterinya selalu melaporkan bahwa keadaan rakyat dalam keadaan aman, sehat, makmur tak kurang satu apa. Untuk membuktikan kata menterinya Baginda akan melihat langsung.
Memang selama ini kerajaan aman-aman saja. Rakyatnya tetap makmur, tak ada gejolak. Raja memerintah dengan arif bijaksana, maka tak heran apabila rakyat amat menghormatinya. Apalagi sekarang Raja telah mempunyai seorang anak laki-laki. Putra mahkota sebagai penggantinya apabila dia wafat dan seorang putri.
Malam itu Baginda ingin melaksanakan niatnya dan untuk itu dia telah berpakaian sebagaimana rakyat biasa. Sebagai teman di perjalanan Baginda mengajak hambanya, sepanjang perjalanan Raja bercerita banyak dengan hambanya. Banyak sekali hal yang ingin diketahui raja dari hambanya mengenai rakyatnya. Misalnya tentang penghidupan rakyatnya, apakah telah layak. Juga tentang makan, apakah rakyatnya ada yang menderita kelaparan atau tidak.
Ketika raja melewati lorong kecil yang agak gelap sayup-sayup di kejahuan terdengar sebuah pembicaraan dari sebuah rumah kecil yang letaknya di ujung lorong. Pembicaraan itu rupanya menarik perhatian Baginda. Mereka mempercepat jalan agar segera sampai di depan rumah tersebut.
Rumah kecil tersebut dihuni oleh dua orang anak beranak, seorang putri dan ibunya. Ayah telah lama meninggal, sehingga mereka berdua harus dapat mempertahankan hidupnya. Dahulu pekerjaan ayahnyai adalah seorang penjual susu. Hasilnya lumayan, dapat untuk menghidupi anak istrinya.
Langganan ayahnya cukup banyak, dari pegawai kerajaan sampai para pedagang. Sehingga tak heran apabila mereka hidup berkecukupan. Ayahnya meninggal karena sakit dan banyak biaya yang telah dikeluarkan sehingga tabungan yang selama ini disimpan digunakan untuk biaya pengobatan.
Keadaan keluarga ini kini menjadi sangat miskin dibanding ketika ayahnya masih hidup. Untuk menopang kehidupannya mereka melanjutkan usaha sebelumnya yaitu sebagai penjual susu.
Dengan mengendap-endap raja dan hmbanya mendekati rumah tersebur. Karena malam itu sunyi dan sepi, maka pembicaraan antara putri dan ibunya terdengar cukup jelas.
putriku, akhir-akhir ini hidup kita kekurangan. Kadang sehari makan dua kali, karena langganan kita tak sebanyak ketika ayahmu masih hidup. Yah, aku tak mengerti mengapa bisa begini”
“Ah, mungkin kita tengah diuji oleh Tuhan, desa ibunya. Bukankah tidak selamanya manusia bahagia, kadang susah kadang senang dan kita baru mendapat kesusahan itu”.
“Begini saja putriku, agar susu kita menjadi lebih banyak sehingga nanti banyak terjual, maka campurlah susu ini dengan air. Toh mereka tidak tahu kalau susu yang kita jual kita campur dengan air. Ah, betapa banyaknya uang yang kita peroleh. Cepat ambil air dan tuangkan dalam susu ini!” begitu perintah ibu kepada anaknya dengan wajah berseri.
Putrinya tersentak kaget, dan dia tidak mengira mengapa ibunya akan berbuat seperti itu. Sejak kecil ia telah dididik berbuat kejujuran oleh ayahnya, bahkan ibunya pun sering menasihatinya agar selalu berbuat jujur. putrinya tak habis pikir, mengapa ibunya tiba-tiba lupa dengan apa yang selama ini diajarkan kepadanya yaitu kejujuran. Tentunya dengan tegas sang putri menolak perintah ibunya.
“Tidak ibu. Aku tak mau berbuat curang. Memang tak ada orang yang melihat perbuatan kita, bu. Tetapi Tuhan melihat kita. Ingatlah ibuku, bukankah ibu selalu mengajarkan kepadaku untuk berbuat kejujuran?”
Ibu sangati kaget mendengar penuturan putrinya, rupanya dia tersadar dari apa yang akan diperbuatnya. Berkali-kali dia mohon ampun kepada Tuhan.
“Maafkan ibumu , aku telah khilaf hanya karena hidup kita miskin. Biarlah kita miskin asal kita bisa merasakan bahagia. Marilah kita tidur putriku. Besok kita berjualan susu bersama-sama”. Begitulah akhirnya ibunya sadar.
Maka dengan beranjaknya mereka ke tempat tidur, raja dan hambanya meninggalkan rumah itu. raja telah mendengar semua pembicaraan anaki dan ibunya. Sebelum meninggalkan rumah kecil itu, hambanya diiperintah raja untuk menandai rumah tersebut.
Keesokan harinya, Baginda memanggil hambanya untuk menghadap. Pertemuan diadakan di balai kerajaan.
“Begini hambaku, apakah kamu masih ingat rumah yang tadi malam kita kunjungi. Aku ingin sekali memberi hadiah bagi gadis yang jujur tersebut. Kamu tahu, bahwa aku sangat menghargai suatu kejujuran. Untuk itu panggilah mereka berdua untuk menghadapku, aku akan memberikan hadiah bagi mereka”.
“Titah raja akan saya laksanakan. Tapi kalau boleh saya usul, berilah mereka berdua uang yang banyak agar berkecukupan. Saya tahu kalau raja sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran”, begitu usul hambanya.
“Uang yang banyak bukan ganjaran yang setimpal dengan suatu kejujuran. Kejujuran tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang. Mereka akan aku jadikan anggota keluargaku. Biarlah mereka kuangkat menjadi saudara bagi putriku”.
Begitulah buah kejujuran. putri bersama ibunya telah memetik hasilnya. Kini mereka berdua hidup bahagia menjadi bagian dari keluarga kerajaan.