Aku tidak perawan lagi
Hari itu dia terlihat gelisah sekali di dalam kelas. Setiap kali aku tanya, dia hanya diam. Kemudian entah ditelan bumi atau langit, dia tiba-tiba menghilang. Aku mendatangi rumahnya, dia selalu tidak ada, malahan aku diceramahi mamanya karena dianggap aku yang selalu mengajak pergi dia. Huh... sebel!!!Tiba-tiba di laci mejaku, aku menemukan sebuah surat. Dia mengajakku ketemuan setelah pulang sekolah. Memang sich, hampir seminggu dia sudah tidak masuk sekolah. Mukanya pucat, bibirnya sendu, raut mukanya pilu saat aku melihatnya. Aku tidak berani bertanya atau berkata apa-apa. Aku hanya diam. Tiba-tiba dia bercerita kembali kepadaku.
Sudah 2 bulan ini, aku terlambat bulan. Aku bingung, dan aku tidak berani menceritakannya kepada siapapun. Aku menemuinya (cowok yang sudah menghamili dia). Cowok itu malah menyalahkanku karena sebagai perempuan, aku itu murahan sekali. Hiks.. sedih mendengarnya. Karena aku amsih SMA kelas 2, kalau sampai hamil... aku tidak akan bisa lulus SMA.
Karea bingung, akhirnya aku cerita kepada Pak S (guru fisika di sekolah kami). Dia menyarankanku untuk memeriksakan diri di salah satu rumah bersalin di luar kota. Dan katanya, rumah sakit itu bisa untuk diajak bernegosiasi untuk praktek aborsi. Aku pun menyanggupinya. Tapi Pak S menyarankan supaya aku minta uang terlebih dahulu kepada si cowok sebagai biaya perawatan di rumah bersalin tersebut.
Aku menemuinya, dan minta uang sebesar 1 juta rupiah untuk biaya perawatan. Dalam 2 hari, dia memberikan uang itu kepadaku. Kemudian aku pergi kesana, sendirian. Uh... takut banget untuk masuk ke rumah bersalin itu. Apalagi, waktu itu aku ditanyai macam-macam oleh dokter dan suster yang ada disitu. Setelah pemeriksaan selama 15 menit, ternyata hasilnya negatif. Ah, ternyata Tuhan itu masih sayang padaku.
Bercerita sampai disitu, aku memotong sebentar. Ooo... jadi beberapa hari ini kamu ndak masuk sekolah karena itu? Dia tidak menjawab hanya menganggukkan kepala sambil tertunduk lesu. Mmm... aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mendekat padanya, dan memeluknya. Cuma pelukan yang aku bisa berikan.
Di dalam pelukanku, dia bertanya: apa yang harus aku lakukan?
Beberapa waktu terasa hening, karena aku pun tidak tahu, apa solusi yang tepat untuk itu. Kemudian aku hanya berkata: Yesus tahu apa yang harus kamu lakukan. Panggil Yesus, dan disitulah ada jawaban. Cuma itu petuah bijak yang dapat keluar dari mulut kecilku.
Waktu terus berjalan, dan akhirnya tiba saatnya kenaikan kelas. Selama menjalani sisa kelas dua, beberapa kali dia memang terlihat sangat depresi. Bahkan orang tuanya sampai dipanggil guru BP, untuk menanyakan mengapa dia sangat tidak bersemangat untuk belajar dan prestasinya sangat menurun. Karena dulu sewaktu SD-SMA kelas 1, dia selalu berada di peringkat 5 besar. Dan saat kelas 2 itu, ada 2 mata pelajaran yang nilainya sampai merah. Tapi, dia tetap baik dengan cowok itu. Heran...
Kelas 3, mereka (temenku dan si cowok) berpisah. Selain berbeda kelas, mereka juga berbeda jurusan. Dan malangnya, setiap kali berpapasan, si cowok selalu berusaha menghindar dan berpura-pura seolah tidak pernah mengenalinya. Aku pun tidak dapat berbuat banyak. Setiap kali kami bisa ngobrol berdua, aku selalu memeluknya dan hanya berkata: Aku mengasihimu, tapi Yesus ada dan lebih mengasihimu. Yesus tidak mencari orang-orang yang suci, tapi orang yang mau beri hati sepenuhnya buat Dia.
Awalnya dia tidak bergeming setiap aku bisikkan atau teriakkan nama Yesus. Tapi, tiba-tiba suatu hari dia berkata, aku mau percaya Yesus. Aku mau dibaptis. Wow... itu hal yang sangat mengejutkanku. Spontan saja hatiku melonjak dan aku membawanya masuk gereja dan kemudian dibaptis (tanpa sepengetahuan orang tuanya).
Tak terasa waktu kelulusan telah tiba. Nilai-nilainya kelas 3 ini, naik cukup signifikan. Bahkan di hari kelulusan dia mendapat rangking pertama di kelas. Ah, jadi ngiri... . Dan setelah itu, dia diterima di salah satu PTN di Jawa Tengah.
Semenjak kelulusan, beberapa kali kami terkadang masih bertemu. Wajahnya sudah kembali ceria dan Yesus kini ada di hatinya. Namun, terakhir kali dia menghubungiku, hatinya kembali galau dan resah. Dia sedang dekat dengan seorang cowok yang lain. Tapi, dia takut untuk kembali menjalin hubungan baru. Cowok itu terus saja meyakinkannya. Dan akhirnya... dia mengiyakan.
Dia bertanya padaku: apakah aku harus menceritakan masa laluku itu pada calon suamiku kelak? Sampai sekarang, aku belum memberi jawab. Aku hanya berkata: Tanyakan pada Yesus, Dia yang tahu jawabnya (ha ha ha... ini jawaban ngeles... )