Alkisah, ada tiga pohon di dalam
hutan. Suatu hari, ketiganya saling menceritakan mengenai harapan dan
impian mereka..
Pohon pertama berkata: “Kelak aku ingin
menjadi peti harta
karun. Aku akan diisi emas, perak dan berbagai batu permata dan semua
orang akan mengagumi keindahannya” .
Kemudian pohon kedua berkata: “Suatu
hari kelak aku akan menjadi sebuah kapal yang besar. Aku akan mengangkut
raja-raja dan berlayar ke
ujung dunia. Aku akan menjadi kapal yang kuat dan setiap orang merasa
aman berada dekat denganku”.
Lalu giliran pohon ketiga yang
menyampaikan impiannya: “Aku ingin tumbuh menjadi pohon yang tertinggi
di hutan di puncak bukit. Orang-orang akan memandangku dan berpikir
betapa aku begitu dekat untuk menggapai surga dan TUHAN. Aku akan
menjadi pohon terbesar sepanjang masa dan orang-orang akan mengingatku” .
Setelah beberapa tahun berdoa agar
impian terkabul, sekelompok penebang pohon datang dan menebang ketiga
pohon itu…
Pohon pertama dibawa ke tukang kayu. Ia
sangat senang sebab ia tahu
bahwa ia akan dibuat menjadi peti harta karun. Tetapi, doanya tidak
menjadi kenyataan karena tukang kayu membuatnya menjadi kotak tempat
menaruh makanan ternak. Ia hanya
diletakkan dikandang dan setiap hari diisi dengan jerami.
Pohon kedua dibawa ke galangan kapal. Ia
berpikir bahwa doanya menjadi kenyataan. Tetapi, ia dipotong-potong dan
dibuat menjadi sebuah perahu nelayan yang sangat kecil. Impiannya
menjadi kapal besar untuk mengangkut raja-raja telah berakhir.
Pohon ketiga dipotong menjadi
potongan-potongan kayu besar dan dibiarkan teronggok dalam gelap.
Tahun demi tahun berganti, dan ketiga
pohon itu telah melupakan impiannya masing-masing.
Kemudian suatu hari, sepasang suami
istri tiba di kandang. Sang istri melahirkan dan meletakkan bayinya di
kotak tempat makanan ternak yang dibuat dari pohon pertama. Orang-orang
datang dan menyembah bayi itu. Akhirnya pohon pertama sadar bahwa di
dalamnya telah diletakkan harta terbesar sepanjang masa.
Bertahun-tahun kemudian, sekelompok
laki-laki naik ke atas perahu nelayan yang dibuat dari pohon kedua. Di
tengah danau, badai besar datang dan pohon kedua berfikir bahwa ia tidak
cukup kuat untuk melindungi orang-orang di dalamnya. Tetapi salah
seorang laki-laki itu berdiri dan berkata kepada badai: “Diam!!!”
Tenanglah”. Dan badai itupun berhenti. Ketika itu tahulah bahwa ia telah
mengangkut Raja di atas segala raja.
Akhirnya, seseorang datang dan mengambil
pohon ketiga. Ia dipikul sepanjang jalan sementara orang-orang mengejek
lelaki yang memikulnya. Laki-laki itu kemudian dipakukan di kayu ini
dan mati dipuncak bukit. Akhirnya pohon ketiga sadar bahwa ia demikian
dekat dengan TUHAN, karena YESUS-lah yang disalibkan padanya…
—————————————————————————————————————-
Ketika keadaan tidak seperti yang engkau
inginkan, ketahuilah bahwa Tuhan memiliki rencana
untukmu. Jika engkau percaya pada-Nya, Ia akan memberimu berkat-berkat
besar. Ketiga pohon mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi tidak
dengan cara yang seperti mereka bayangkan. Begitu juga dengan kita, kita
tidak selalu tahu apa rencana Tuhan bagi kita. Kita hanya tahu bahwa
jalan-Nya bukanlah jalan kita, tetapi jalan-Nya adalah yang terbaik bagi
kita, selamanya…
Ada seorang pria yang memiliki kekasih
yang sangat dicintainya dengan sepenuh hati.
Apapun dilakukan demi menunjukkan rasa cintanya pada permata hatinya
ini. Suatu saat, pria ini berkata kepada kekasihnya, “Kekasihku, aku
akan memberikan apapun yang kamu minta, asalkan aku menilai hal itu baik
buatmu. Karena aku tidak ingin melihat engkau kecewa dengan pilihanmu
yang salah”.
Hari demi hari berlalu mengiringi
perjalanan cinta mereka. Pria ini tak pernah memalingkan hatinya atau
melupakan kekasihnya. Sementara sang wanita merasa berbahagia memiliki
pria ini. Hingga suatu hari, wanita ini meminta sesuatu dari kekasihnya.
Dia menginginkan sebuah kalung dengan berlian pada liontinnya. Ketika
pia ini mendengar permintaan kekasihnya, dia menolak. Dia berkata,
“Kekasihku, bukannya aku tidak mau atau tidak bisa membelikanmu kalung
itu. Tapi sangat berbahaya bila engkau memakai kalung itu. Bila ada
orang yang gelap mata, dia akan merampas kalung itu dan kalau itu
terjadi, bukan hanya
kamu yang celaka, aku juga akan sangat menderita melihatmu seperti itu.
Aku hanya tidak mau kamu mendapat celaka”. Tapi kekasihnya terus
meminta kalung itu dan tidak mau mendengar nasehatnya. Akhirnya kalung
itu pun dibeli dan dipakai oleh sang wanita.
Selang beberapa hari, apa yang
ditakutkan oleh pria ini benar-benar terjadi. Ada 2 orang
penjahat yang merampas kalung itu saat kekasihnya sedang mengendarai
motor. Kalung itu pun terampas dan wanita ini terjatuh dari motornya.
Mendengar berita ini, si pria langsung menemui kekasihnya, membawanya pulang
dan mengobati lukanya. Dengan menangis, pria ini berkata, “Mengapa
engkau tidak mau menuruti kata-kataku? Engkau mendapat celaka seperti
ini, aku merasa sepuluh kali lebih sakit daripadamu”. Wanita ini
menangis, dia menyesal dan berkata, “Maafkan aku, aku bersalah padamu
karena tidak mendengar perkataanmu dan menuruti keinginanku sendiri. Aku
menyesal. Maukah engkau memaafkan aku?”. Dengan penuh cinta kasih
pria ini memeluk kekasihnya dan berkata, “Aku memaafkanmu sejak tadi.
Aku bahagia karena aku bisa memelukmu dalam
keadaan engkau masih hidup. Mulai
sekarang, turutilah perkataanku karena aku tidak pernah akan
membiarkanmu celaka”. Kekasihnya mengangguk dan mereka menangis bahagia…
SOBAT.. Bukankah cerita
itu mirip dengan hidup kita sehari-hari yang kita lewati bersama TUHAN?
Tuhan adalah pria itu dan kita adalah sang wanita. Ketika awal kita
mengenal DIA, kita berkobar-kobar dan melalui setiap detik dalam hidup
dengan bahagia. Tetapi dengan berjalannya waktu, saat kita
menginginkan sesuatu dan memohon padaNYA, seringkali permohonan kita
tidak sesuai dengan kehendak TUHAN. Tapi kita terus memaksa dan merengek
seperti anak kecil. Saat TUHAN benar-benar mengabulkan permohonan kita,
belum tentu itu baik buat kita. Malah bisa-bisa kita kecewa karena
menuruti keinginan kita sendiri. Saat itu terjadi, barulah kita ingat
padaNYA, kita menyesal dan minta ampun.
Beruntunglah karena kita memiliki ALLAH
yang Maha Pengampun. Dia tidak pernah menolak bila kita memohon ampun
atas semua kesalahan dan kekerasan hati kita.
TUHAN tidak pernah meninggalkan
kita. Tetapi seringkali kita yang meninggalkanNYA. Dan apa yang DIA
lakukan? Denga sabar DIA menunggu
kita kembali padaNYA.
SOBAT, ingatlah :
Saat kita berhenti melangkah jauh
dariNYA, maka DIA tersenyum…
Saat kita menoleh padaNYA, maka DIA tertawa…
Saat kita berbalik padaNYA, maka DIA membuka kedua tanganNYA…
Saat kita melangkah 1 Langkah ke arahNYA, maka DIA akan BERLARI 1000
LANGKAH MENGHAMPIRI KITA….
Sungguh cintaNYA pada kita takkan pernah berkesudahan..
Suatu malam ketika aku kembali ke rumah,
istriku menghidangkan makan malam untukku, sambil memegang tangannya
aku berkata, “Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Istriku lalu
duduk di samping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang.
Dari raut wajah dan matanya kutahu dia sedang memendam luka batin yang
membara.
Tiba-tiba aku tidak tahu
harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari
mulutku. Akan tetapi aku harus membiarkan istriku mengetahui apa yang
sedang kupikirkan. Aku ingin sebuah perceraian di antara kami. Aku lalu
memberanikan diri untuk membicarakannya dengan tenang. Nampaknya dia
tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah balik dan
bertanya kepadaku dengan tenang, tapi mengapa?
Aku menolak menjawabnya. Ini membuatnya
sungguh marah kepadaku. Dia membuang choptiks di tangannya dan
mulai berteriak kepadaku, “Engkau bukan seorang laki-laki sejati.” Malam
itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia terus menangis dan menangis.
Aku tahu bahwa dia ingin mengetahui alasan di balik keinginanku untuk
bercerai. Tetapi aku dapat memberinya sebuah jawaban yang memuaskan,
“Dia telah menyebabkan kasih
sayangku hilang terhadap Jane (wanita simpananku). Aku tidak
mencintainya lagi. Aku hanya
kasihan kepadanya.”
Dengan sebuah rasa bersalah yang dalam,
aku membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai bahwa dia
dapat memiliki rumah kami, mobil dan 30% dari keuntungan perusahaan
kami. Dia sungguh marah, merobek kertas itu. Wanita yang telah
menghabiskan 10 tahun hidupnya bersamaku kini telah menjadi orang asing
di rumah kami, khususnya di hatiku. Aku meminta maaf untuknya, untuk
waktunya yang telah terbuang selama 10 tahun bersamaku, untuk semua
usaha dan energi yang diberikan kepadaku, tapi aku tidak dapat menarik
kembali apa yang telah kukatakan kepada Jane bahwa aku sungguh
mencintainya. Akhirnya dia menangis dengan suara keras di hadapanku yang
mana aku sendiri berharap melihat terjadi padanya. Bagiku tangisannya
tidak mempunyai makna apa-apa. Keinginanku untuk bercerai di hati
dan pikiranku telah bulat dan aku harus melakukannya saat itu.
Hari berikutnya, ketika aku kembali ke
rumah sedikit larut kutemukan dia sedang menulis sesuatu di atas meja di
ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi langsung pergi tidur
karena rasa ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah
seharian bertemu dengan Jane, wanita idamanku saat itu. Ketika terbangun
kulihat dia masih duduk di samping meja itu sambil melanjutkan
tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku.
Pagi harinya dia menyerahkan
syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku.
Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu
sebulan sebelum perceraian untuk saling memperlakukan sebagai
suami-istri dalam arti sebenarnya. Dia memintaku dalam sebulan itu kami
berdua harus berjuang untuk hidup normal
layaknya suami-istri. Alasannya sangat sederhana, “Putra kami akan
menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak ingin mengganggunya
dengan rencana
perceraian kami.”
Aku menyetujui syarat-syarat yang dia
berikan. Akan tetapi dia juga meminta beberapa syarat tambahan sebagai
berikut, dalam rentang waktu sebulan itu, aku harus mengingat kembali
bagaimana pada permulaan pernikahan kami, aku harus menggendongnya
sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk
menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai di muka pintu
depan setiap pagi. Aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi, biarlah
kucoba untuk membuat hari-hari terakhir
kami menjadi indah untuk memenuhi permintaannya kepadaku demi
meluluskan perceraian kami.
Aku menceritakan kepada Jane (wanita
simpananku) tentang syarat-syarat yang ditawarkan oleh istriku. Jane
tertawa terbahak-bahak mendengarnya dan berpikir bahwa itu adalah
sesuatu yang aneh dan tak bermakna. Terserah saja apa yang menjadi
tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah
kita rencanakan, demikian kata Jane.
Kami tak lagi berhubungan badan layaknya
suami-istri selama waktu-waktu itu. Sehingga sewaktu aku menggendongnya
keluar menuju pintu rumah kami pada hari pertama, kami tidak merasakan
apa-apa. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan dibelakang kami,
sambil berkata, “Wow… papa sedang menggendong mama”. Kata-kata putra
kami sungguh membuat luka di hatiku.
Dari tempat tidur sampai di pintu depan
aku menggendong dan membawanya sambil tangannya memeluk eratku. Dia
menutup mata sambil berkata pelan, “Jangan beritahukan perceraian ini
kepada putra kita.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke
depan rumah untuk menunggu bus
yang akan membawanya ke tempat kerjanya. Sedangkan aku mengendarai
mobil sendirian ke kantorku.
Pada hari kedua, kami berdua
melakukannya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat di dadaku. Aku
dapat mencium dan merasakan keharuman tubuh dan pakaianya. Aku
menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan saksama untuk
waktu yang sudah agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda lagi
seperti dulu. Ada bintik-bintik kecil di raut wajahnya, rambutnya mulai
beruban! Perkawinan kami telah membuatnya seperti itu. Untuk beberapa
menit aku mencoba merenung tentang apa yang telah kuperbuat kepadanya
selama perkawinan kami.
Pada hari yang ke empat, ketika aku
menggendongnya, aku merasa sebuah perasaan kedekatan/keintiman yang
mulai kembali merebak di relung hatiku yang paling dalam. Inilah wanita
yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku. Pada
hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami
sebagai suami-istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tidak mau
mengatakan perasaan seperti ini kepada Jane (wanita yang akan kunikahi
setelah perceraian kami). Aku pikir ini akan lebih baik karena aku hanya
ingin memenuhi syarat yang dia minta agar nantinya aku bisa menikah
dengan wanita yang sekarang aku cintai, si Jane.
Aku memperhatikan ketika suatu pagi dia
sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa
darinya tapi tidak menemukan
satu pun yang cocok untuk tubuhnya. Dia lalu sedikit mengeluh, semua
pakaianku terasa terlalu besar untuk tubuhku sekarang. Aku kemudian
menyadari bahwa dia semakin kurus, dan inilah alasannya mengapa aku
dapat dengan mudah menggendongnya pada hari-hari itu.
Tiba-tiba kenyataan itu sangat menusuk
dalam di hati dan perasaanku. Dia telah memendam banyak luka dan
kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu mengulurkan tanganku dan menyentuh
kepalanya.
Tiba-tiba putra kami muncul pada saat it
dan berkata, “Papa, sekarang waktunya untuk menggendong dan membawa
mama.” Baginya, menggendong dan membawa ibunya keluar menjadi sesuatu
yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekati putra kami dan memeluk
erat tubuhnya penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku ke arah yang
berlawanan karena takut situasi istri dan putraku akan mempengaruhi dan
mengubah keputusanku untuk bercerai pada saat-saat akhir memenuhi
syarat-syaratnya. Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan
dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan.
Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan sangat romantis
layaknya suami-istri yang hidupnya penuh kedamaian dan harmonis satu
dengan yang lain. Aku pun memeluk erat tubuhnya; dan ini seperti moment
hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu.
Akan tetapi tubuhnya yang sekarang
ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya
dengan kedua lenganku aku merasa sangat berat untuk menggerakkan
walaupun cuma selangkah ke depan. Putra kami telah pergi ke sekolah.
Aku memeluk eratnya sambil berkata, aku tidak pernah memperhatikan
selama ini bahwa hidup perkawinan kita telah kehilangan
keintiman/keakraban satu dengan yang lain. Aku mengendarai sendiri
kendaraan ke kantorku….melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci
pintunya. Aku sangat takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku
mengubah pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane membuka pintu dan aku
berkata kepadanya, “Maaf Jane, Aku tidak ingin menceraikan istriku”.
Jane memandangku penuh tanda tanya
bercampur keheranan, dan kemudian menyentuh dahiku dengan jarinya.
Apakah badanmu panas? Dia berkata. Aku mengelak dan mengeluarkan
tangannya dari dahiku. “Maaf Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup
perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memakna secara
detail setiap moment kehidupan
kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang
aku menyadari bahwa sejak aku menggendong dan membawanya setiap pagi,
dan terutama kembali mengingat kenangan hari pernikahan kami aku
memutuskan untuk tetap akan menggendongnya sampai hari kematian kami tak
terpisahkan satu dari yang lain.” Jane sangat kaget mendengar
jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras dan
mulai meraung-raung dalam kesedihan bercampur kemarahan terhadapku. Aku
tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku
pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah toko bunga di sepanjang jalan
itu, aku memesan bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa
yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, “Aku akan
menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”
Petang hari ketika aku tiba di rumah,
dengan bunga di tanganku, sebuah senyum indah di wajahku, aku berlari
kecil menaiki tangga rumahku, hanya untuk bertemu dengan istiriku dan
menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru
dalam perkawinan kami, tapi apa yang kutemukan? Istriku telah meninggal
di atas tempat tidur yang telah kami tempati bersama selama 10 tahun
pernikahan kami. Istriku telah berjuang melawan kanker ganas yang telah
menyerangnya berbulan-bulan tanpa pengetahuanku karena kesibukanku untuk
menjalin hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan
meninggal dalam waktu yang relatif singkat akibat kanker ganas itu, dan
ia ingin menyelamatkanku dari apapun pandangan negatif yang mungkin
lahir dari putra kami sebagai reaksi atas kebodohanku sebagai seorang
suami dan ayah, terutama rencana gila dan bodohku untuk menceraikan
wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun mempertahankan
pernikahan kami dan demi putra kami…
—-sekurang-kurangnnya, di mata putra
kami – aku adalah seorang ayah yang penuh kasih dan sayang….demikianlah
makna dibalik perjuangan istriku.
Sekecil apapun dari peristiwa atau hal
dalam hidup sangat mempengaruhi hubungan kita. Itu bukan tergantung pada
uang di bank, mobil atau kekayaan apapun namanya. Semuanya ini bisa
menciptakan peluang untuk menggapai kebahagiaan
tapi sangat pasti bahwa mereka tidak bisa memberikan kebahagiaan itu
dari diri mereka sendiri. Suami-istrilah yang harus saling memberi demi
kebahagiaan itu.
Karena itu, selalu dan selamanya jadilah
teman bagi pasanganmu dan buatlah hal-hal yang kecil untuknya yang
dapat membangun dan memperkuat hubungan dan keakraban di dalam hidup
perkawinanmu. Milikilah sebuah perkawinan yang bahagia. Kamu pasti bisa
mendapatkannya, kawan!
Jika engkau mau membagi cerita
ini kepada sahabat kenalanmu, maka satu hal yang pasti bahwa Tuhan
sedang menggunakanmu untuk menyelamatkan perkawinan orang lain,
terutama mereka yang sekarang mengalami masalah dalam pernikahan mereka.
Salam dan doa seorang sahabat
untuk para sahabat yang menikah maupun yang berencana untuk menikah,
Di sebuah pinggir kota sore hari seorang
ibu penjaja pecel sedang mengemasi barang dagangannya yang sudah habis. Kemudian datang seorang tukang
becak dan membantu mengemasi dan menaikan barang ibu tersebut ke atas
becaknya. Kedua orang tua itu adalah seorang suami istri yang setiap
hari bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sesampai di rumah sang anak laki-laki tertuanya masih
duduk di depan tv, Andi namanya. Andi tampak tenang-tenang saja tidak
membantu menurunkan barang-barang dagangan orangtuanya. Andi memang anak
satu-satunya.
Baru
saja duduk dan beristirahat Andi langsung berbicara, ” Mak, motorku
sudah jelek, aku mau ganti yang baru, di sekolah malu sama teman-teman,
dan juga motornya sangat boros”. Meskipun mereka kesusahan mereka selalu
memperhatikan anak kesayangannnya. “Tunggu sebulan lagi ya nak, nanti
bapak dan ibu tak cari uang tambahan buat beli motormu”.
Hari berganti hari, si bapak bekerja
siang dan malam, si ibu bekerja dari pagi sampai sore. Akhirnya sebulan
mereka sudah bisa membelikan motor yang agak baru dan bagus untuk
dipakai Andi, anaknya.
Begitu seterusnya sampai anaknya lulus
kuliah dan bekerja di perusahaan terkemuka. Bapak dan ibu ini masih saja
bekerja. Karena si Andi sudah bekerja, maka uang simpanan mereka di
tabung. Suatu ketika Andi yang sudah lama bekerja memutuskan untuk
berhenti dan membuka usaha baru. Tidak sungkan-sungkan dia meminta
tambahan modal usahanya.
Beberapa tahun kemudian Andi sudah
menjadi orang sukses. Namun dia selalu lupa untuk menyisihkan sedikit
uang kepada orang tuanya. Malah lebih akrab dan sering membantu
teman-temannya atau relasi-relasinya dari pada membahagiakan kedua orang
tuanya.
Sampai akhirnya satu-persatu orang
tuanya meninggal. Andi masih sendiri dan tetap menikmati kekayaannya
untuk diri sendiri.
Pada suatu saat Andi bertemu dengan
calon istrinya, dan merencakan pernikahan. Semua sudah siap, tinggal waktu
pemberkatan Andi kebingungan karena kedua orang tuanya sudah tiada.
Sedangkan dia tidak tahu
harus meminta kepada siapa untuk mendampingi dia menikah.
Akhirnya dia pulang
ke rumahnya, dia bertanya-tanya kepada tetangga sebelah dan menayakan
apakah ada mau mendampingi mereka menikah? Tetapi karena tetangga tahu
kelakuan Andi mereka tidak mau, malah tetangganya memberi tahukan bahwa
sebenarnya andi itu anak angkat .
Tetangga itu bercerita, “Dulu ada orang
membuang bayi ke selokan pojok kota. Bapak dan ibu kamu memang sudah
lama tidak di karuniai anak, ibu kamu yang setiap pagi berangkat
berjualan menemukan
kamu, dan akhirnya di rawat. Dulu waktu kecil kamu menderita deman dan
sakit tinggi, namun karena dirawat dengan baik akhirnya kamu sekarang
menjadi orang yang sehat dan cakep seperti sekarang ini”.
Terkejutlah Andi, ternyata dia sudah
begitu tidak mempedulikan kedua orang tua angkatnya yang dari kecil
sampai besar sudah membesarkan dan mendidiknya hingga sukses sekarang
ini.
Andi menyadari dan merenungkan, apalah
arti semua kesuksesan dan kekayaan tersebut. Kalau orang yang mereka
sayangi tidak bisa ikut merasakan kebahagiaan seperti dirinya. Jauh
lebih besar adalah bisa memberikan rasa sayang dan cinta kepada
mereka dari pada memberikan harta
dan kekayaan. Karena harta akan sirna ketika kita mati, tapi kasih
sayang dan cinta akan tetap ada di hati
selamanya, dan apa yang bisa kita perbuat ketika orang-orang yang kita
sayangi tetapi kita tidak bisa melakukan balasan apa-apa lagi?
Kekayaan, kesejahteraan, kebahagian akan
abadi apabila kita bisa membalas kebaikan mereka yang telah mengasihi
kita, karena mereka juga berperan serta dalam
proses kesuksesan kehidupan
kita ini.
Saya ingin sharing tentang apa yang saya
dapat di kebaktian hari minggu ini di gereja saya. Saya sangat
tersentuh oleh sebuah kesaksian
Ps. Philip Mantofa tentang bagaimana suatu hari dia tidak taat pada
suara Tuhan, yang mengakibatkan seseorang meninggal bunuh diri sebelum
dia mengenal Yesus. Berikut kira-kira ceritanya :
Saat itu saya belum menjadi seorang
penginjil. Saya masih berkuliah di sekolah Teologia di Vancouver,
Canada. Suatu hari saat saya datang ke sebuah acara bazaar, tiba-tiba
seorang laki-laki berumur belasan tahun menghampiri saya dan mengajak
saya berkenalan. Dari penampilan luarnya, dia sangat rapi dan terlihat
seperti orang baik-baik.
Kami berbincang-bincang sebentar dan
saling bertanya tentang sekolah kami. Setelah dia mengetahui bahwa saya
bersekolah di sekolah Alkitab, dia
tiba-tiba bertanya, “Apakah kamu pernah tidur dengan wanita?”. “Tidak,
bagaimana denganmu?”, jawab saya. “Oh..benarkah? Saya sudah tidur
dengan banyak wanita. Saya ingin bertanya, apakah menurutmu itu dosa?”,
katanya. Kemudian dia menceritakan tentang kehidupannya yang begitu
kelam. Dengan terus terang saya mengatakan bahwa itu dosa dan saya coba
menjelaskan tentang kebaikan Yesus dan bagaimana Dia sanggup memulihkan
hidupnya. Singkat cerita,
dia mau ketika saya mengajaknya untuk ke gereja.
Hari minggunya dia datang bersama
kakak laki-lakinya. Ketika kebaktian sedang berlangsung, tiba-tiba saya
melihat kakaknya menarik-narik dia untuk mengajaknya pulang.
Dia terlihat kebingungan antara ingin melanjutkan ibadah dan mengikuti
ajakan kakaknya yang sedikit memaksa itu. Akhirnya saya hanya
bisa melihat mereka keluar dari ruangan ibadah tersebut tanpa bisa
melakukan apa-apa.
Esok paginya, saya harus pulang ke Indonesia
karena ada suatu urusan. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 5 pagi Tuhan
tiba-tiba membangunkan saya. Dan saya mendengar suara Tuhan dalamhati
saya, Dia berkata, “Philip, telpon dia sekarang. Katakan padanya bahwa
Aku mengasihinya.”
“Ah Tuhan.. Bagaimana kalau
nanti saja? Ini kan masih pagi sekali.. ” jawab saya dalam
keadaan masih mengantuk.
Untuk kedua kalinya Tuhan berkata, “Philip,
telpon dia sekarang. Katakan padanya bahwa Aku sangat mengasihinya.”
“Ah Tuhan.. nanti saja setelah
saya balik lagi ke Canada baru
saya telpon dia, dan saya akan ajak dia ke gereja lagi. Mungkin itu
lebih baik.”
Namun suara itu masih berulang-ulang
kali terdengar dalam hati saya. Saya tetap mengacuhkan suara tersebut
dan menganggap bahwa masih ada waktu lain untuk
mengatakannya.
Siang harinya, saya naik pesawat
terbang untuk kembali ke Indonesia. Sesampainya di Indonesia, saya
mendengar sebuah kabar bahwa laki-laki tersebut tewas karena bunuh diri.
Dia dikabarkan lompat dari apartement bersama kakak laki-lakinya pada
pukul 6 pagi tadi.
Setelah mendengar kabar tersebut
saya sangat shock. Saya begitu merasa bersalah dan saya langsung meminta
maaf kepada Tuhan karena tidak menuruti perintah-Nya pagi tadi. Saya
sama sekali tidak menyangka bahwa hal yang saya anggap sangat sepele
bisa berakibat fatal seperti itu. Ini adalah sebuah kejadian yang begitu
memukul saya dan tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Sejak
saat itu, saya berjanji tidak akan pernah melewatkan kesempatan untuk
memberitakan Injil kepada orang lain, terutama kepada orang-orang yang
saya sayangi. Saya berjanji…
Teman-teman, dari kesaksian ini saya
belajar bahwa sebuah kesempatan mungkin tidak akan datang untuk kedua
kalinya. Oleh karena itu, kita harus menceritakan tentang kebaikan Tuhan
kepada orang lain, terutama kepada keluarga dan orang-orang terdekat
kita selagi kita masih memiliki kesempatan itu, karena Tuhan telah
memilih kita sebagai penjaga kaum Israel (Yeh 3:17). Dan jangan sampai
karena kita melewatkan kesempatan itu, kita jadi menyesal nantinya.
Jadi, gunakan setiap kesempatan yang ada untuk menceritakan kebaikan
Tuhan. Tuhan Yesus memberkati.
Kalau Aku berfirman kepada orang
jahat: Engkau pasti dihukum mati! –dan engkau tidak memperingatkan dia
atau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu dari
hidupnya yang jahat, supaya ia tetap hidup, orang jahat itu akan mati
dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas
nyawanya dari padamu. Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang jahat
itu dan ia tidak berbalik dari kejahatannya dan dari hidupnya yang
jahat, ia akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau telah
menyelamatkan nyawamu. (Yeh 3:18-19)
Seorang raja
bersama pengiringnya keluar dari istananya untuk menikmati udara pagi.
Di keramaian, ia berpapasan dengan seorang pengemis. Sang raja menyapa
pengemis ini, “Apa yang engkau inginkan dariku?”
Si pengemis itu tersenyum dan berkata,
“Tuanku bertanya, seakan-akan
tuanku dapat memenuhi permintaan hamba.”
Sang raja terkejut, ia merasa
tertantang, “Tentu saja aku dapat memenuhi permintaanmu. Apa yang engkau
minta, katakanlah!”
Maka menjawablah sang pengemis,
“Berpikirlah dua kali, wahai tuanku, sebelum tuanku menjanjikan
apa-apa.”
Rupanya sang pengemis bukanlah sembarang
pengemis. Namun raja tidak merasakan hal itu. Timbul rasa angkuh dan
tak senang pada diri raja, karena mendapat nasihat dari seorang
pengemis. “Sudah aku katakan, aku dapat memenuhi permintaanmu. Apapun
juga! Aku adalah raja yang paling berkuasa dan kaya-raya.”
Dengan penuh kepolosan dan kesederhanaan
si pengemis itu mengangsurkan mangkuk penadah sedekah, “Tuanku dapat
mengisi penuh mangkuk ini dengan apa yang tuanku inginkan.”
Bukan main! Raja menjadi geram mendengar
‘tantangan’ pengemis di hadapannya. Segera ia memerintahkan bendahara
kerajaan yang ikut dengannya untuk mengisi penuh mangkuk pengemis kurang
ajar ini dengan emas!. Kemudian bendahara menuangkan emas dari
pundi-pundi besar yang di bawanya ke dalam
mangkuk sedekah sang pengemis. Anehnya, emas dalam pundi-pundi besar
itu tidak dapat mengisi penuh mangkuk sedekah. Tak mau kehilangan muka
di hadapan rakyatnya, sang raja terus memerintahkan bendahara mengisi
mangkuk itu. Tetapi mangkuk itu tetap kosong. Bahkan seluruh
perbendaharaan kerajaan: emas, intan berlian, ratna mutumanikam telah
habis dilahap mangkuk sedekah itu. Mangkuk itu seolah tanpa dasar,
berlubang.
Dengan perasaan tak menentu, sang raja
jatuh bersimpuh di kaki si pengemis, ternyata dia bukan pengemis biasa,
terbata-bata ia bertanya, “Sebelum berlalu dari tempat ini, dapatkah
tuan menjelaskan terbuat dari apakah mangkuk sedekah ini?”
Pengemis itu menjawab sambil tersenyum,
“Mangkuk itu terbuat dari keinginan manusia yang tanpa batas. Itulah
yang mendorong manusia senantiasa bergelut dalam hidupnya”.
“Ada kegembiraan, gairah memuncak di
hati, pengalaman yang mengasyikkan kala engkau menginginkan sesuatu.
Ketika akhirnya engkau telah mendapatkan keinginan itu, semua yang telah
kau dapatkan itu, seolah tidak ada lagi artinya bagimu. Semuanya hilang
ibarat emas intan berlian yang masuk dalam mangkuk yang tak beralas
itu. Kegembiraan, gairah, dan pengalaman yang mengasyikkan itu hanya
tatkala dalam proses untuk mendapatkan keinginan. Begitu saja
seterusnya, selalu kemudian datang keinginan baru.
Orang tidak pernah merasa puas. Ia selalu merasa kekurangan. Anak
cucumu kelak mengatakan : power tends to corrupt; Kekuasaan cenderung
untuk berlaku tamak”.
Raja itu bertanya lagi, “Adakah cara
untuk dapat menutup alas mangkuk itu?”
“Tentu ada, yaitu rasa syukur terhadap
segala sesuatu yang telah kau miliki. Jika engkau pandai bersyukur, Itu
akan menambah nikmat padamu,” ucap sang pengemis itu, sambil ia berjalan
kemudian menghilang.
Ini adalah kisah
sebuah bunga putih… Ia tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya ia
adalah bunga yang terindah yang pernah tumbuh di antara tanah yang penuh
dengan semak duri..
Ia tumbuh dengan indah di tengah semak-semak yang keheranan
akan bentuk sang bunga putih yang berbeda dengan yang lainnya. Para
semak duri lalu memandangnya dengan sinis dan tidak pernah memandang
sang bunga putih dengan bersahabat, sehingga si bunga putih pun merasa
bahwa ialah yang paling buruk karena ia memiliki bentuk yang paling
berbeda di antara semak-semak duri tersebut.
Waktu pun berlalu,
sang bunga putih tak pernah merasa bahagia.. bahkan ia sering bertanya
kepada kupu-kupu
yang senang bermain dengannya :” Mengapa aku harus tumbuh berbeda
dengan yang lainnya? Mengapa aku terlihat begitu buruk dibandingkan yang
lain”?
Kupu-kupu menjawab :” Kau tidak buruk,
bunga putih. Hal yang membuatmu merasa buruk adalah karena dirimu
terlihat berbeda dengan yang lainnya. Justru kau adalah bunga yang
terindah yang pernah kutemui,bunga putih.” Jawab sang kupu-kupu kepada
sang bunga putih.
Bunga putih pun terkejut :”Apa
maksudmu,kupu-kupu?”. Kupu-kupu lalu menjawab : “Tahukah dirimu, bunga
putih.. bunga sepertimu adalah bunga yang cantik dan terindah, karena di
tengah-tengah tanah yang penuh dengan semak duri kau tumbuh dengan
anggunnya.. dan bahkan, bagiku kau adalah penolongku, karena ketika aku
lapar, di tengah-tengah tempat yang sepertinya tidak ada harapan untuk mencari
madu dari bunga, kau ada untuk menyediakan madu sehingga aku tidak
kelaparan.. Bunga putih, bunga sepertimu yang tumbuh diantara semak duri
sesungguhnya adalah bunga yang cantik dan terindah, karena kau
menunjukkan bahwa masih ada harapan di tengah tanah yang penuh semak
duri”, kata sang kupu-kupu.
Bunga putih pun sadar,dan pada akhirnya
ia bersyukur
atas keadaan dirinya.
Terkadang kita seperti bunga putih diatas. Kita seringkali kecewa dan
merasa buruk atau tertekan karena berbeda dengan orang lain yang berada
di lingkungan sekitar kita.
Kita seringkali tak menyadari bahwa
ketika kita berbeda dengan yang lainnya,Tuhan memiliki rencana
yang besar di dalamhidup
kita..yaitu untuk menjadikan hidup kita menjadi hidup yang memberikan
harapan bagi orang lain yang membutuhkan,dan untuk menunjukkan bagi
setiap orang, bahwa mimpi masih bisa terwujud di tengah dinginnya
dunia,dan harapan masih ada meskipun sepertinya segala sesuatunya tidak
dapat menjanjikan apa-apa…
Karena itu, yakinlah di dalam hatimu..
mungkin pada awalnya dirimu merasa tertekan karena berbeda dengan yang
lainnya.. Namun, Tuhan tidak pernah melakukan kesalahan dalam mengatur
dan menempatkan dirimu..karena Ia tahu,
perbedaan yang ada pada dirimu adalah untuk menunjukkan kepada dunia,
bahwa harapan masih ada di dunia yang dingin seperti batu.. Dan Ia
memilihmu karena Ia mempunyai rencana yang besar di dalam hidupmu,yang
tak pernah terpikirkan dalam benakmu..namun sudah dipersiapkan dengan
luar biasa oleh Tuhan..
Karena itu, percayalah..bahwa apapun
yang terjadi di dalam hidupmu..semuanya akan mendatangkan kebaikan dan
harapan di dalam hidupmu dan juga hidup orang lain.. dan terlebih dari
itu semua, percayalah bahwa apa yang Tuhan tetapkan di dalam
hidupmu..pasti pada akhirnya semua hal itu akan menjadi indah pada
waktuNya..
Di salah satu gereja di Eropa Utara, ada
sebuah patung Yesus Kristus yang disalib, ukurannya tidak jauh berbeda
dengan manusia pada umumnya. Karena segala permohonan pasti bisa
dikabulkan-Nya, maka
orang berbondong-bondong datang secara khusus kesana untuk berdoa,
berlutut dan menyembah, hampir dapat dikatakan halaman gereja penuh
sesak seperti pasar.
Di dalam
gereja itu ada seorang penjaga pintu, melihat Yesus yang setiap hari
berada di atas kayu salib, harus menghadapi begitu banyak permintaan
orang, ia pun merasa iba dan di dalam hati
ia berharap bisa ikut memikul beban penderitaan Yesus Kristus. Pada
suatu hari, sang penjaga pintu pun berdoa menyatakan harapannya itu
kepada Yesus.
Di luar dugaan, ia mendengar sebuah
suara yang mengatakan, “Baiklah! Aku akan turun menggantikan kamu
sebagai penjaga pintu, dan kamu yang naik diatas salib itu, namun apapun
yang kau dengar, janganlah mengucapkan sepatah kata pun.” Si penjaga
pintu merasa permintaan itu sangat mudah.
Lalu, Yesus turun, dan penjaga itu naik
ke atas, menjulurkan sepasang lengannya seperti Yesus yang dipaku diatas
kayu salib. Karena itu orang-orang yang datang bersujud, tidak menaruh
curiga sedikit pun. Si penjaga pintu itu berperan sesuai perjanjian
sebelumnya, yaitu diam saja tidak boleh berbicara sambil mendengarkan
isi hati orang-orang yang datang.
Orang yang datang tiada habisnya,
permintaan mereka pun ada yang rasional dan ada juga yang tidak
rasional, banyak sekali permintaan yang aneh-aneh. Namun demikian, si
penjaga pintu itu tetap bertahan untuk tidak bicara, karena harus
menepati janji sebelumnya.
Pada suatu hari datanglah seorang
saudagar kaya, setelah saudagar itu selesai berdoa, ternyata kantung
uangnya tertinggal. Ia melihatnya dan ingin sekali memanggil saudagar
itu kembali, namun terpaksa menahan diri untuk tidak berbicara.
Selanjutnya datanglah seorang miskin yang sudah 3 hari tidak makan, ia
berdoa kepada Yesus agar dapat menolongnya melewati kesulitan hidup
ini. Ketika hendak pulang
ia menemukan
kantung uang yang ditinggalkan oleh saudagar tadi dan begitu dibuka,
ternyata isinya uang dalam jumlah besar. Orang miskin itu pun kegirangan
bukan main, “Yesus benar-benar baik, semua permintaanku dikabulkan!”
dengan amat bersyukur
ia lalu pergi.
Diatas kayu salib, “Yesus” ingin sekali
memberitahunya, bahwa itu bukan miliknya. Namun karena sudah ada
perjanjian, maka ia tetap menahan diri untuk tidak berbicara.
Berikutnya, datanglah seorang pemuda yang akan berlayar ke tempat yang
jauh. Ia datang memohon agar Yesus memberkati keselamatannya. Saat
hendak meninggalkan
gereja, saudagar kaya itu menerjang masuk dan langsung mencengkram
kerah baju si pemuda, dan memaksa si pemuda itu mengembalikan uangnya.
Si pemuda itu tidak mengerti keadaan yang sebenarnya, lalu keduanya
saling bertengkar.
Di saat demikian, tiba-tiba dari atas
kayu salib “Yesus” akhirnya angkat bicara. Setelah semua masalahnya
jelas, saudagar kaya itu pun kemudian pergi mencari
orang miskin itu dan si pemuda yang akan berlayar pun bergegas pergi,
karena khawatir akan ketinggalan kapal.
Yesus yang asli kemudian muncul,
menunjuk ke arah kayu salib itu sambil berkata, “TURUNLAH KAMU! Kamu
tidak layak berada disana.” Penjaga itu berkata, “Aku telah mengatakan
yang sebenarnya dan menjernihkan persoalan serta memberikan keadilan,
apakah salahku?”
“Saudagar kaya itu sama sekali tidak
kekurangan uang, uang di dalam kantung bermaksud untuk
dihambur-hamburkannya. Namun bagi orang miskin, uang itu dapat
memecahkan masalah dalam kehidupannya sekeluarga. Yang paling kasihan
adalah pemuda itu. Jika saudagar itu terus bertengkar dengan si pemuda
sampai ia ketinggalan kapal, maka si pemuda itu mungkin tidak akan
kehilangan nyawanya. Tapi sekarang kapal yang ditumpanginya sedang
tenggelam di tengah laut.”
———————————————————————————————————
Ini kedengarannya seperti sebuah anekdot
yang menggelikan, namun dibalik itu terkandung sebuah rahasiakehidupan…Kita
seringkali menganggap apa yang kita lakukan adalah yang paling baik,
namun kenyataannya kadang justru bertentangan. Itu terjadi karena kita
tidak mengetahui hubungan sebab-akibat dalam kehidupan ini.
Kita harus percaya bahwa semua yang kita
alami saat ini, baik itu keberuntungan maupun kemalangan, semuanya
merupakan hasil pengaturan yang terbaik dari Tuhan buat kita, dengan
begitu kita baru
bisa bersyukur dalam keberuntungan dan kemalangan dan tetap bersuka
cita.
Roma 8:28 “Kita tahu sekarang,
bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,
yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana
Allah.
Suatu hari seorang pelukis terkenal
sedang menyelesaikan lukisan terbaiknya dan rencananya akan dipamerkan
pada saat pernikahan Putri Diana. Ketika menyelesaikan lukisannya ia
sangat senang dan terus memandangi lukisannya yang berukuran 2×8 m.
Sambil memandangi, ia berjalan mundur dan ketika berjalan mundur ia
tidak melihat ke belakang. Ia terus berjalan mundur dan di belakangnya
adalah ujung dari gedung tersebut yang tinggi sekali dan tinggal satu
langkah lagi dia bisa mengakhiri hidupnya.
Seseorang melihat pemandangan tersebut
dan bermaksud untuk berteriak memperingatkan pelukis tersebut, tapi
tidak jadi karena dia khawatir si pelukis tersebut malah bisa jatuh
ketika kaget mendengar teriakannya. Kemudian orang yang melihat pelukis
tersebut mengambil kuas dan cat yang ada di depan lukisan tersebut lalu
mencoret-coret
lukisan tersebut sampai rusak. Tentu saja pelukis tersebut sangat marah
dan berjalan maju hendak memukul orang tersebut. Tetapi beberapa orang
yang ada disitu menghadang dan memperlihatkan posisi pelukis tadi yang
nyaris jatuh.
Kadang-kadang kita telah melukiskan masa
depan kita dengan sangat bagus dan memimpikan suatu hari indah yang
kita idamkan. Tetapi kadangkala rencana
itu tidak bisa terlaksana karena Tuhan punya maksud lain yang lebih
baik. Kadang-kadang kita marah dan jengkel terhadap TUHAN atau juga
terhadap orang lain. Tapi perlu kita ketahui TUHAN selalu menyediakan
yang terbaik. Dia melihat segala apa yang tidak kita lihat.
Seorang Ibu
sangat gembira ketika menerima telegram dari anaknya yang telah bertahun-tahun menghilang.
Apalagi ia adalah anak satu-satunya. Maklumlah anak tersebut pergi
ditugaskan perang ke Vietnam pada 4 tahun yang lampau dan sejak 3 tahun
yang terakhir,
orang tuanya tidak pernah menerima kabar lagi dari putera tunggalnya
tersebut. Sehingga diduga bahwa anaknya gugur dimedan perang. Anda bisa
membayangkan betapa bahagianya perasaan Ibu tersebut. Dalam
telegram tersebut tercantum bahwa anaknya akan pulang
besok.
Esok harinya telah disiapkan segalanya
untuk menyambut kedatangan putera tunggal kesayangannya, bahkan pada
malam harinya akan diadakan pesta khusus untuk dia, dimana seluruh
anggota keluarga maupun rekan-rekan bisnis dari suaminya diundang semua.
Maklumlah suaminya adalah Direktur Bank Besar yang terkenal diseluruh
ibukota.
Siang harinya si Ibu menerima telepon
dari anaknya yang sudah berada di airport.
Si Anak: “Bu bolehkah saya membawa kawan
baik saya?”
Ibu: “Oh sudah tentu, rumah kita cuma
besar dan kamarpun cukup banyak, bawa saja, jangan segan-segan bawalah!”
Si Anak: “Tetapi kawan saya adalah
seorang cacat, karena korban perang di Vietnam.”
Ibu: “……oooh tidak jadi masalah,
bolehkah saya tahu,
bagian mana yang cacat?” – nada suaranya sudah agak menurun
Si Anak: “Ia kehilangan tangan kanan dan
kedua kakinya!”
Si Ibu dengan nada agak terpaksa, karena
si Ibu tidak mau mengecewakan anaknya: “Asal hanya
untuk beberapa hari saja, saya kira tidak jadi masalah..”
Si Anak: “…tetapi masih ada satu hal
lagi yang harus saya ceritakan sama Ibu, kawan saya itu wajahnya juga
rusak.. begitu juga kulitnya, karena sebagian besar hangus terbakar,
maklumlah pada saat ia mau menolong kawannya ia menginjak ranjau,
sehingga bukan tangan dan kakinya saja yang hancur melainkan seluruh
wajah dan tubuhnya turut terbakar!”
Si Ibu dengan nada kecewa dan kesal:
“Nak, lain kali saja kawanmu itu diundang ke rumah kita, untuk sementara
suruh saja tinggal di hotel, kalau perlu biar ibu yang bayar nanti
biaya penginapannya..”
Si Anak: “…tetap ia adalah kawan baik
saya Bu, saya tidak ingin pisah dari dia!”
Si Ibu: “Coba renungkan nak, ayah kamu
adalah seorang konglomerat yang ternama dan kita sering kedatangan tamu
para pejabat tinggi maupun orang-orang penting yang berkunjung ke rumah
kita, apalagi nanti malam kita akan mengadakan perjamuan malam bahkan
akan dihadiri oleh seorang menteri, apa kata mereka apabila mereka nanti
melihat seorang anak dengan tubuh yang cacat dan wajah yang rusak.
Bagaimana pandangan umum dan bagaimana lingkungan bisa menerima kita
nanti? Apakah tidak akan menurunkan martabat kita bahkan jangan-jangan
nanti bisa merusak citra binis usaha dari ayahmu nanti.”
Tanpa ada jawaban lebih lanjut dari
anaknya telepon diputuskan dan ditutup.
Orang tua dari kedua anak tersebut
maupun para tamu menunggu
hingga jauh malam ternyata anak tersebut tidak pulang, ibunya mengira
anaknya marah, karena tersinggung, disebabkan temannya tidak boleh
datang berkunjung ke rumah mereka.
Jam tiga subuh pagi, mereka mendapat
telepon dari rumah sakit, agar mereka segera datang ke sana, karena
harus mengidetifitaskan mayat dari orang yang bunuh diri. Mayat dari
seorang pemuda bekas tentara Vietnam, yang telah kehilangan tangan dan
kedua kakinya dan wajahnyapun telah rusak karena kebakar. Tadinya mereka
mengira bahwa itu adalah tubuh dari teman anaknya, tetapi kenyataannya
pemuda tersebut adalah anaknya sendiri! Untuk membela nama dan status
akhirnya mereka kehilangan putera tunggalnya!
Kita akan menilai bahwa orang tua dari
anak tersebut kejam dan hanya mementingkan nama dan status mereka saja,
tetapi bagaimana dengan diri kita sendiri? Apakah kita lain dari mereka?
Apakah Anda masih tetap mau berkawan
……. dengan orang cacat?
……..yang bukan karena cacat tubuh saja?
……. tetapi cacat mental atau
……..cacat status atau cacat nama atau
……..cacat latar belakang kehidupannya?
Apakah Anda masih tetap mau berkawan
dengan orang
…….yang jatuh miskin?
…… yang kena penyakit AIDS?
…….yang bekas pelacur?
…….yang tidak punya rumah lagi?
…….yang pemabuk?
…….yang pencandu?
…….yang berlainan agama?
Renungkanlah jawabannya hanya Anda dan
Tuhan saja yang mengetahunya. Dan yang paling penting adalah “SIKAP”
kita dalam memandang suatu hal harus kita ubah
menjadi yang lebih baik atau lebih positif. Karena dengan sikap positif
secara otomatis akan menumbuhkan sikap rendah hati,
peduli terhadap orang lain dan tentunya hal-hal lain yang lebih baik.
Dahulu kala ada seorang raja yang
mempunyai 4 isteri. Raja ini sangat mencintai isteri keempatnya dan
selalu menghadiahkannya pakaian-pakaian yang mahal dan
memberinya makanan yang paling enak. Hanya
yang terbaik yang akan diberikan kepada sang isteri.
Dia juga sangat memuja isteri ketiganya
dan selalu memamerkannya ke pejabat-pejabat kerajaan tetangga. Itu
karena dia takut suatu saat nanti, isteri ketiganya ini akan
meninggalkannya.
Sang raja juga menyayangi isteri
keduanya. Karena isterinya yang satu ini merupakan tempat curahan
hatinya, yang akan selalu ramah, peduli dan sabar terhadapnya.
Pada saat sang raja menghadapi suatu masalah, dia akan mengungkapkan isi
hatinya hanya pada isteri keduanya karena dia bisa membantunya melalui
masa-masa sulit itu.
Isteri pertama raja adalah pasangan yang
sangat setia dan telah memberikan kontribusi yang besar
dalam
pemeliharaan kekayaannya maupun untuk kerajaannya. Akan tetapi, si raja
tidak peduli
terhadap isteri pertamanya ini meskipun
sang isteri begitu mencintainya, tetap saja sulit bagi sang raja untuk
memperhatikan isterinya itu.
Hingga suatu hari, sang raja jatuh sakit
dan dia sadar bahwa kematiannya sudah dekat.
Sambil merenungi kehidupannya yang
sangat mewah itu, sang raja lalu berpikir, “Saat ini aku memiliki 4
isteri disampingku, tapi ketika aku pergi mungkin aku akan sendiri”.
Lalu, bertanyalah ia pada isteri
keempatnya, “Sampai saat ini, aku paling mencintaimu, aku sudah
menghadiahkanmu pakaian-pakaian yang paling indah
dan memberi perhatian yang sangat besar hanya untukmu. Sekarang aku
sekarat, apakah kau akan mengikuti dan tetap menemaniku ?”
“Tidak akan !” balas si isteri keempat
itu, ia pun pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
Jawaban isterinya itu bagaikan pisau
yang begitu tepat menusuk jantungnya. Raja yang sedih itu kemudian
berkata pada isteri ketiganya, “Aku sangat memujamu dengan seluruh
jiwaku. Sekarang aku sekarat, apakah kau tetap mengikuti dan selalu
bersamaku ?”
“Tidak !” sahut sang isteri. “Hidup
ini begitu indah ! Saat kau meninggal, akupun akan menikah kembali !”
Perasaan sang rajapun hampa dan membeku.
Beberapa saat kemudian, sang raja bertanya pada isteri keduanya,
“Selama ini, bila aku membutuhkanmu kau selalu ada untukku. Jika nanti
aku meninggal, apakah kau akan mengikuti dan terus disampingku ?”
“Maafkan aku, untuk kali ini aku tidak bisa memenuhi permintaaanmu !”
jawab isteri keduanya. “Yang bisa aku lakukan, hanyalah ikut menemanimu
menuju pemakamanmu.”
Lagi-lagi, jawaban si isteri bagaikan
petir yang menyambar dan menghancurkan hatinya.
Tiba-tiba, sebuah suara berkata :
“Aku akan bersamamu dan menemanimu
kemanapun kau pergi.” Sang raja menolehkan kepalanya mencari-cari
siapa yang berbicara dan terlihatlah olehnya isteri pertamanya. Dia
kelihatan begitu kurus seperti menderita kekurangan gizi.
Dengan penyesalan yang sangat mendalam
kesedihan yang amat sangat, sang raja berkata sendu, “Seharusnya aku
lebih memperhatikanmu saat aku masih punya banyak kesempatan !”
Dalam realitanya, sesungguhnya kita
semua mempunyai “4 isteri” dalam hidup kita….
“Isteri Keempat” kita adalah tubuh kita.
Tidak peduli berapa banyak waktu dan usaha
yang kita habiskan untuk membuatnya terlihat bagus, tetap saja dia akan meninggalkan
kita saat kita meninggal…
Kemudian “Isteri Ketiga” kita adalah
ambisi, kedudukan dan kekayaan kita. Saat kita meninggal,
semua itu pasti akan jatuh ke tangan
orang lain.
Sedangkan “Isteri Kedua” kita adalah
keluarga dan teman-teman kita. Tak peduli berapa lama waktu
yang sudah dihabiskan bersama kita,
tetap saja mereka hanya bisa menemani dan mengiringi kita
hingga ke pemakaman.
Dan akhirnya “Isteri Pertama” kita
adalah jiwa, roh, dan iman kita, yang sering terabaikan karena sibuk
memburu kekayaan, kekuasaan, dan kepuasan nafsu. Padahal, jiwa, roh,
atau iman inilah yang akan mengikuti kita kemanapun kita pergi.
Jadi perhatikan, tanamkan dan simpan
baik-baik dalam hatimu sekarang ! Hanya inilah hal terbaik yang bisa kau
tunjukkan pada dunia…
Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah
berbagai macam benda-benda
abstrak: ada Cinta,
Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya.
Mereka hidup
berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai menghempas
pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan
pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri.
Cinta sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak
mempunyai perahu.
Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari
pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak
lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu.
“Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!” teriak
Cinta.
“Aduh! Maaf, Cinta!” kata Kekayaan,
“Perahuku telah penuh dengan harta
bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam.
Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini.”
Lalu Kekayaan cepat-cepat mengayuh
perahunya pergi.
Cinta sedih sekali, namun kemudian
dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya. “Kegembiraan! Tolong
aku!”, teriak Cinta.
Namun Kegembiraan terlalu gembira karena
ia menemukan
perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.
Air makin tinggi membasahi Cinta sampai
ke pinggang dan Cinta semakin panik.
Tak lama lewatlah Kecantikan.
“Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!”,
teriak Cinta.
“Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku
tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah
ini.” sahut Kecantikan.
Cinta sedih sekali mendengarnya.
Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu
lewatlah Kesedihan.
“Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu,”
kata Cinta.
“Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku
ingin sendirian saja…” kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.
Cinta putus asa. Ia merasakan air makin
naik dan akan menenggelamkannya.
Pada saat kritis itulah tiba-tiba
terdengar suara, “Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!”
Cinta menoleh ke arah suara itu dan
melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta naik ke perahu
itu, tepat sebelum air menenggelamkannya.
Di pulau terdekat, orang tua itu
menurunkan Cinta dan segera pergi lagi.
Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa
ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya
itu.
Cinta segera menanyakannya kepada
seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu.
“Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu.”
kata orang itu.
“Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku
tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan
menolongku” tanya Cinta heran.
“Sebab,” kata orang itu, “Hanya
Waktu lah yang tahu
berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu.”
Suatu kali para jari mengadakan pertemuan keluarga.
Mereka makan malam bersama dan saling berbagi cerita mengenai tantangan yang
secara nyata mereka alami sebagai anggota-anggota tubuh, di tengah zaman yang
semakin ingin memecah belah mereka. Inilah hasil dari perbincangan mereka. SI JEMPOL merasa tantangan terbesar bagi dirinya adalah
PERSAINGAN. Menurutnya, di dunia metropolitan seperti Jakarta ini, besar sekali
kemungkinan adanya persaingan. Jari jemari harus siap diperadukan satu dengan
lainnya. siapa yang kuat, dia yang mendapat perlakuan secara khusus.
Bicara tentang si Jempol saja misalnya, ada banyak orang yang lebih memilih
serta menantikan kehadirannya dibandingkan jari jemari lainnya. Sebab begitu si
jempol berdiri, semua orang sudah paham bahwa ada pujian yang akan
dikumandangkannya. Katanya, “Aku tidak mungkin mengacungkan jempol untuk semua
orang. Hanya pada orang-orang tertentu saja aku mau berdiri dan menyatakan
pujianku. Semakin aku jujur, semakin orang menghendaki kehadiranku.”
Apakah kita juga setuju dengan pendapat si jempol? Bahwa salah satu
tantangan yang dihadapi seorang Kristen di zaman ini adalah persaingan? Sadar
atau tidak kita ada di dalam dunia persaingan ini. Mulai dari anak-anak sampai
orang dewasa, persaingan terus berlanjut dan membayang-bayangi hidup kita.
Di kalangan anak-anak kita saja misalnya persaingan mulai muncul saat mereka
memperebutkan kasih sayang. Berapa banyak orangtua yang tidak siap menjadi
orangtua bagi anak-anak mereka, sehingga mereka lebih suka berlaku manis pada
anak-anak mereka yang juga memberikan respon positif. Untuk anak-anak yang
manis, yang pandai, yang taat, seringkali orangtua memberikan perhatian lebih
ketimbang pada anak-anak mereka yang memberontak, tidak taat dan sulit belajar
mandiri. Anak-anak jadi terbiasa berlaku pura-pura demi memperebutkan perhatian
orangtuanya.
Itu baru di dalam keluarga saat mereka berelasi dengan orangtuanya. Tetapi
di kalangan dunia anak sendiri, jangankan anak-anak yang sudah menginjak akil
balik, di usia anak saya pun (sekitar 2 tahunan) sudah terjadi persaingan.
Persaingan terjadi karena masalah yang sangat sepele kelihatannya, yaitu
masalah bola plastik. Saat persediaan bola plastik hanya satu, bola itu jadi
diperebutkan. Siapa yang mendapat bola itu? Rupanya yang kuatlah yang bisa
memegang dan menguasai bola itu. Mereka yang ditendang, tidak bisa melawan atau
membalas, harus menerima kekalahan yang tidak adil itu dengan terpaksa.
Di kalangan para siswa persaingan juga muncul. Bukan hanya di sekolah saat
mereka bersaing nilai, tetapi juga saat mereka bersaing teman favorite, pacar,
bahkan juga saat sebuah tim sedang memilih anggota terbaik mereka untuk sebuah
kompetisi olah raga.
Persaingan berlanjut di dunia bisnis, di kantor, di jalanan, di toko,
termasuk di dunia hiburan. Untuk mengambil tempat duduk di restaurant favorite
pun kita bersaing waktu dengan pengunjung lainnya. mata kita harus sigap
mencari tempat duduk yang kosong, jika restaurant yang kita tuju tidak memiliki
stand pendaftaran customer mereka.
Ternyata memang benar, persaingan muncul tidak memandang bulu dan kelas. Di
manapun, kapan pun selalu ada persaingan. Entah anak-anak kita pandai atau
biasa-biasa saja, entah kita sedang berekreasi maupun bekerja, persaingan bisa
terjadi.
Pertanyaannya, apa buruknya dari sebuah persaingan? Persaingan yang sehat
tentu membawa hasil yang baik. Tetapi sebaliknya jika persaingan itu didominasi
oleh ambisi dan ketinggian hati, maka persaingan akan membawa seseorang pada
tindakan kejam, sarkastis dan akhirnya menimbulkan banyak korban. Padahal
peneladanan Kristus berbeda sama sekali dengan hal tersebut. Apa perbedaan
teladan Kristus dengan maraknya persaingan yang ada di zaman ini?
Persaingan melegalkan kita mengorbankan orang lain, sedangkan kehadiran
Kristus mengajar kita untuk berkorban demi orang lain. Persaingan menebalkan
kepekaan sosial kita, sedangkan kehadiran Kristus membuat kita semakin peka
akan kebutuhan sesama. Persaingan membawa kita pada pementingan diri dengan
kekuatan dan kelebihan kita, sedangkan kehadiran Kristus mementingkan mereka
yang lemah dengan bantuan kekuatan serta kelebihan yang Tuhan beri pada kita.
Apakah kita dan anggota keluarga kita bersaing secara positif? Yesus juga
mengajarkan kita untuk bersaing, bersaing dalam perlombaan iman. Bersaing dalam
memenangkan kasih yang sejati, serta persaingan dalam menciptakan perdamaian
(Rom 12:18).
Kini giliran SI TELUNJUK unjuk bicara. Menurutnya,
tantangan terberatnya zaman ini adalah HARGA DIRI.
Si Telunjuk berkata, “Aku merasa, seringkali jariku disalahgunakan orang
lain. Saat mereka menggunakanku untuk mempertahankan harga diri mereka. Mereka
menunjuk seseorang untuk melempar tanggung jawab, menunjuk yang lemah untuk
mempermalukan mereka, bahkan menunjuk diri sendiri saat pujian disampaikan.”
Dan ironisnya, si telunjuk seringkali menjadi alasan bagi perpecahan yang
terjadi dalam keluarga. Sepasang suami istri memutuskan untuk pisah kamar saat
tidur malam, hanya karena merasa tidak dihargai oleh pasangannya. Seorang anak
bisa meninggalkan rumah karena merasa tidak dihargai oleh orangtuanya. Bahkan
seorang pekerja segera meninggalkan rumah tempat mereka bekerja karena merasa
harga dirinya diabaikan oleh sang tuan rumah.
Sempat seorang ayah berkata pada anaknya, “Kita boleh tidak punya uang, tapi
jangan sampai kita kehilangan harga diri.” Rupanya harga diri begitu penting
dan tinggi nilainya. Dunia ini bisa menunjukkan perbedaan status sosial,
pendidikan, ekonomi, budaya dan peradaban secara mencolok, tetapi perbedaan itu
tidak dapat menyembunyikan yang disebut dengan Harga Diri.
Akibat dari memprioritaskan harga diri, seseorang sampai hati mengorbankan
uangnya, miliknya bahkan tenaganya. Sayangnya, dunia ini pun menghargai
seseorang dengan hal-hal lahiriah. Rupanya, materi ikut berbicara, memberi
andil bagi keputusan berharga atau tidaknya seseorang. Coba kita ingat-ingat,
apa yang membuat seorang penjaga toko menghargai kita? Pakaian kita, penampilan
kita, termasuk kartu kredit kita. Lalu, pelayanan apa yang juga bergantung pada
materi atau uang yang kita miliki? Kelas dalam pesawat terbang, saat kita
bermalam di rumah sakit, atau saat kita berbelanja. Semoga dan jangan sampai
itu terjadi juga di gereja atau rumah kita.
Inilah tantangan keluarga Kristen di zaman ini, di mana keutuhan keluarga
perlu diupayakan melalui sikap saling menghargai dan bukan karena masing-masing
anggota keluarga menonjolkan harga dirinya masing-masing. Saya pernah
mengatakan pada beberapa anak muda, mari kita turunkan harga diri kita demi
mempertahankan relasi. Apa maksudnya? Relasi kita dengan Tuhan dan relasi kita
dengan anggota keluarga sangatlah penting. Tuhan mengharapkan agar sesama anggota
keluarga saling menolong dan melengkapi satu dengan lainnya. Istilah menolong
mengandung makna kesediaan untuk merendahkan hati, turun menyodorkan tangan
bagi mereka yang lemah.
Yang lemah diangkat oleh yang kuat. Itu berarti ada upaya turun ke bawah
seperti Yesus yang kuat dan berkuasa turun menjadi seorang manusia dan
mengambil rupa seorang budak/hamba. Ia menjadi sama seperti kita yang penuh
dengan kelemahan. Inilah teladan kerendahan hati demi mengangkat keberhargaan
seseorang. Kita yang lemah dan berdosa, diangkatNya menjadi anakNya, menjadi
serupa seperti Kristus. Pengangkatan harga diri kita yang dilakukan oleh
Kristus inilah yang membuat Sang Bapa sedia menerima kita.
Kalau saja Allah di Sorga mau menerima kita yang lemah, tidakkah kita meneladani
Kristus yang telah mengangkat kita? Ingat, tantangan keluarga zaman ini adalah
mengajak anggota keluarga mempertahankan relasi, bukan harga diri. Justru
dengan saling menghargai, termasuk menghargai yang lemah, hidup kita jadi
berharga. Bisa jadi bukan di mata manusia, tetapi berharga di mata Dia, Allah
yang telah merendahkan diriNya buat kita.
Kini giliran Si JARI TENGAH unjuk gigi. Ia menekankan
EGOISME sebagai tantangan terberat zaman ini.
Si Jari Tengah berkata, “Coba semua jari berdiri. Siapa yang tertinggi dan
ada di pusat dari semua? Tentulah aku.” Dengan rendah hati lalu dia melanjutkan
pendapatnya, “Karena itulah aku takut, takut aku menjadi sombong dan takabur.
Aku yang sengaja diciptakan paling tinggi di antara kalian dan aku yang
diletakkan Tuhan di tengah-tengah dari semua anggota keluarga jari jemari, aku
takut aku menjadi sombong. Sempat terlintas dalam pikiranku bahwa Allah sengaja
melakukan itu karena memang akulah yang terbaik dan untuk itu patutlah aku
dilindungi, diperhatikan, diistimewakan.
Saya teringat motto dari sebuah film yang menceritakan pengalaman hidup para
penjaga pantai. Mereka setuju bahwa hidup mereka dipersembahkan agar
orang-orang yang seharusnya mati di lautan bebas karena kecelakaan, memiliki
kesempatan kedua untuk hidup kembali dengan pertolongan mereka. “…so the others
may live.”
Apakah prinsip itu tersirat dalam benak kita sebagai anggota keluarga?
Sebagai anggota masyarakat? Atau sebagai seorang yang dipakai dalam dunia kerja
dan pelayanan kita?
Seorang ibu berkata pada temannya, “Kalau saya tidak berguna di tempat ini,
masih banyak orang memerlukan saya.” Apa pesan dari kalimat ini? Seseorang
perlu diakui keberadaannya, seseorang ingin menjadi penting dan berharga.
Kali ini Si Jari Tengah setuju dengan telunjuk. Apa yang membuat seseorang
memaki-maki orang lain? Apa yang membuat seseorang mengundurkan diri dari
sebuah kegiatan? Apa yang membuat seseorang mengacuhkan orang lain? kadangkala
bukan hanya karena ia tidak mendapati penghargaan terhadap dirinya, tetapi juga
karena egoisme diri.
Hati-hati, jangan-jangan egoisme juga telah menelusup dalam keluarga kita.
Kita bekerja bukan karena merupakan kebutuhan, tetapi karena kita hobi bekerja
dan mengejar sesuatu yang menjadi ambisi pribadi kita. Ironisnya, kita bekerja
karena ingin melarikan diri dari keadaan keluarga.
Apa akibat dari egoisme? Menurut Mangunhardjana, membuat seseorang
kehilangan penghargaan terhadap orang lain. Egoisme membuat orang lain sebagai
alat atau objek untuk memenuhi kepentingan pribadi. Egoisme membuat seseorang
tidak peka atau buta terhadap kebutuhan orang lain.
Apakah kita telah menjadikan anak-anak atau pasangan kita sebagai objek?
Apakah kita mencium, bermain dan membelikan mainan buat anak-anak hanya untuk
kepentingan kita? Atau kita sedang belajar peka terhadap kebutuhan mereka?
Tantangan egoisme zaman ini mengajak kita merefleksi ulang, apakah kita
telah menjadi seorang anggota keluarga yang memperhatikan kebutuhan anggota
keluarga yang lain? Jangan sampai kita buta, sebab di situlah keluarga kita
sedang terancam keruntuhan dan kerusakan.
Lain halnya dengan SI JARI MANIS, menurutnya justru
KESETIAAN PADA TUHAN merupakan tantangan terpopuler masa kini.
Kisah-kisah penyangkalan terhadap kesetiaan marak terdengar bukan hanya di
masyarakat pada umumnya dalam dunia bisnis, politik maupun pendidikan. Namun
ketidaksetiaan juga merebak di dalam keluarga-keluarga Kristen. ketidaksetiaan
pada sesama itu dimulai dari ketidaksetiaan kita untuk mendengar dan melakukan
firman Tuhan.
Ketidaksetiaan menjalani apa yang Tuhan kehendaki membuat kita semakin tidak
peka akan tugas yang Tuhan berikan pada kita sebagai utusanNya. Hanya dimulai
dari hal-hal yang sangat sepele. SMS (Short Message System) telah mencoba
menggoda setiap orang untuk melunturkan kesetiaannya. Kata-kata manis yang
membuat seseorang tersenyum sendirian, perhatian yang hanya singkat tetapi
penuh makna, “Sudah makan belum?” menghancurkan dinding pemisah antar yang
sudah terikat dengan para penggodanya.
Tidak heran anak-anak juga belajar untuk tidak setia. Mulai dari
fleksibilitas orangtua dalam mengantar anak-anak mereka ke Sekolah Minggu atau
Kebaktian Remaja. Ada yang menunjukkannya dengan cara terlambat datang, atau
malah sekalian tidak hadir. Dilanjutkan dengan ketidaksetiaan menjadi pelaku
firman.
Mari kita refleksikan ulang, apa yang sudah dengan setia kita jalani?
Membaca firman Tuhan dengan setia? Sudahkah kita dengan setia berterimakasih
pada Dia yang telah memberkati kita? Atau sudahkah kita dengan setia
mengajarkan cinta Tuhan pada anak kita secara berulang-ulang?
Seorang pria menyarankan pada temannya untuk menyimpan cincin nikahnya jika
ia bepergian. Bukan karena takut hilang atau diambil orang, tetapi supaya
banyak orang tahu bahwa dia tidak terikat. Berbagai cara dapat juga kita lakukan
untuk menunjukkan ketidaksetiaan. Dan sayangnya itu diperkuat dengan kepandaian
kita membela diri.
Ironisnya, justru orang-orang yang tidak setia seringkali mendapatkan banyak
keuntungan dari ketidaksetiaannya itu. Sebut saja orang-orang yang seringkali
pindah pekerjaan. Atau orang-orang yang ditawari gaji tinggi oleh perusahaan
kompetitor. Namun ada pertanyaan yang mudah-mudahan dapat sedikit memperbaiki
kita, yaitu: janji setia apa yang sekarang hendak kita ucapkan di hadapan Tuhan
dan keluarga kita? Penuhilah janji itu di masa mendatang dan ajaklah anggota
keluarga kita juga belajar memegang janji setia mereka pada Tuhan dan pada
keluarga. SI KELINGKING kini berucap, mengakhiri diskusi dan makan
malam keluarga jari jemari. Menurut SI KELINGKING tantangan yang tidak kalah
pentingnya untuk diwaspadai adalah
PERHATIAN TERHADAP YANG TERKECIL. Si kelingking memang jarang dibicarakan.
Ia begitu kecil dan kurang kuat untuk mengangkat sebuah kantong plastik
belanjaan sekalipun belanjaan itu ringan. Namun itulah justru tantangan mereka
sebagai anggota keluarga.
Seorang murid bertanya pada gurunya, “Manakah yang harus kami selamatkan
jika kami harus menyelamatkan banyak orang di ambang kematian mereka, dengan
adanya keterbatasan kami?” Lalu jawab guru itu, belalah mereka yang paling
lemah dan paling membutuhkan pertolongan.
Guru itu rupanya memiliki prinsip Kristiani. Untuk itulah Yesus datang ke
dunia dan untuk itulah Dia mengutus kita. Agar yang lemah menjadi kuat, yang
kecil diperhatikan, yang miskin berkata kukaya. Dia datang melalui kita, untuk
menguatkan orang lain, memperhatikan orang lain, menghibur yang berduka.
Siapa yang paling kecil dalam keluarga kita? Perhatikanlah dia dan ajaklah
dia memperhatikan mereka yang juga kecil dan membutuhkan perhatian.
Inilah hasil kesimpulan bincang-bincang para jari. Terakhir, sebelum mereka
menutup pertemuan itu,
“Ada satu yang kurang kata mereka, coba kita bersama-sama menundukkan tubuh
kita. ada sebuah simbol yang dapat disalahartikan. Kepalan seluruh jari dapat
berarti sebuah pembalasan. Tetapi kepalan semua jari dapat juga berarti
semangat bersama untuk mewujudkan hal baik. Itulah tantangan keluarga kita,”
menurut para jari.
Lalu apa solusi dari semua tantangan itu? Sekarang mereka mulai membuka mata
keluar dari kumpulan keluarga kecil mereka. “Lihat, ternyata masih ada keluarga
lain di sebelah kita. Mereka sama-sama jari tangan. Ada jempol, telunjuk, jari
tengah, jari manis dan kelingking.”
“O, itu bukan keluarga kita,” sahut si jempol.
“E… e… e… baru saja kita bicarakan bagaimana sulitnya melepaskan egoisme,
harga diri dan persaingan,” tiba-tiba dengan berani di jari tengah menyanggah.
“Maaf, saya terbawa emosi. Apakah berarti kita harus menyatukan kedua
keluarga besar ini?” tanya si Jempol.
“benar!” jawab Si Telunjuk.
“Kita satukan keluarga kita dengan mereka sambil berpelukan. Sebab saat kita
berpelukan, kita semakin erat. Kita bahkan dapat membisikkan kata-kata doa yang
kita perlukan agar kita diberi kesanggupan menghadapi tantangan zaman yang
berat ini,” lanjut Si Telunjuk dengan semangat.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Sekaranglah waktunya. Mari kita berpelukan!
Maksudnya… berdoa!” jawab jempol sambil berlari memeluk jari jemari lain di
seberang mereka.
“Oh Tuhan terima kasih, akhirnya keluarga besar itu menyatu mencari
Engkaulah sebagai satu-satunya sumber kuat mereka menghadapi tantangan zaman
ini. Ingatkan mereka terus, ya Tuhan!”