Sabtu, 23 Juli 2011

Supermam (ARTIKEL)


Pagi itu seperti biasa kami makan pagi bersama, sedangkan Tom, suamiku sudah pergi ke kantor. Kiera anakku menghadap roti makan paginya. Aku masih menyiapkan makan siang Kiera yang akan dibawanya ke sekolah. “Mam.? panggil Kiera manja. “Kemarin Lia diantar oleh Mamanya ke perhentian bis.? kata Kiera, sambil memakan rotinya.  “Pasti Lia senang diantar oleh Mamanya.? ”Mam, Lia diajak oleh Mamanya ke McDonald untuk makan siang dan Mamanya mengantar Lia kembali ke sekolah ketika waktu istirahat selesai.? Hm! pasti Mamanya punya banyak waktu.? sahutku. Dapatkah kita melakukan seperti itu, Mam? Aku tersenyum pasti sayang, tapi nggak bisa besok. Besok Mama ada pertemuan dengan klien Mama. Mama akan mencari waktu yang kosong. Tetapi yang pasti dalam waktu dekat ini, Mama janji deh.
Setelah Kiera tidur, aku merenungkan percakapanku dengan Kiera tadi. Lia pasti seorang anak perempuan yang sangat manja. Lia pula yang membuat putriku mempunyai keinginan yang macam-macam. Aku memutuskan jika Kiera menginginkan seperti apa yang Lia dapatkan, dan memberi kejutan kepada Kiera dengan mengatakan bahwa aku akan mengantar dia ke perhentian bis, aku akan menyisihkan waktu lebih banyak untuk putriku.
Suatu hari aku bertemu dengan Mama Lia ( Dina ), Kami  sempat berjalan bersama waktu pulang ke rumah sambil berbagi cerita kemudian Dina menceritakan tentang penyakit leukimia yang sedang dialaminya, dan bagaimana menderitanya dia setiap minggu harus ke rumah sakit. Dina kuatir tidak dapat mempunyai waktu lagi untuk Lia, maka  ia ingin memberikan yang terbaik untuk Lia dan menyempatkan waktu sesering mungkin dengannya.
Dalam keheningan itu tak terasa air mataku mengalir perlahan di pipi. Aku telah salah duga selama ini.  Aku mempunyai pandangan yang sempit, aku pikir ibu Lia itu suka pamer, memanjakan anaknya, dan entah berapa banyak lagi daftar negatif, Ampunilah aku Tuhan.
Setiap pagi ketika matahari bersinar, aku selalu mendoakan seorang ibu yang telah membuka mataku melihat dunia ini dengan mata yang baru. Seorang ibu yang dapat membuat aku belajar lebih banyak tentang hidup ini. Tiga bulan kemudian, Dina Lesmana meninggal dunia. Aku berkunjung pada kuburan yang telah sepi, terima kasih Dina bisikku.  Sadarilah kita adalah alatnya.